Lihat ke Halaman Asli

Safitri N

Homo Ludens

Merajut Mimpi Salappa, Kisah dari Satu Hulu di Mentawai

Diperbarui: 24 Agustus 2018   18:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi pribadi

Butuh waktu sekitar empat jam untuk bisa bertemu dengan Muara, atau jika alam sedang berpihak, tiga jam sudah cukup. Mereka menyebutnya Muara, sebuah pusat kehidupan bagi warga Salappa'. Muara adalah pintu awal sebelum mencapai desa ini. Di Siberut Selatan, tepatnya Desa Muntei terdapat Delapan Dusun yang tersebar di sepanjang Hulu Sungai, ya salah satunya adalah Dusun Salappa'. 

Antar Dusun bisa ditempuh dengan menyusuri Sungai menggunakan Pong Pong (semacam kapal kecil) atau dengan Jalan kaki menyusuri hutan dan perbukitan. Untuk orang yang sudah bergantung hidupnya pada kemudahan transportasi, Pong Pong adalah satu - satunya pilihan menuju ke Salappa' mau tak mau, suka tak suka. Satu Pong Pong diisi dengan lima hingga enam orang, mempertimbangkan ukuran badan para penumpang agar Pong Pong bisa stabil. 

Perjalanan kala itu terasa lama, ada beban yang di bawa, ada tanggung jawab yang harus diwujudkan, air sungai yang kala itu surut, Pong Pong yang sempat macet, mungkin Salappa' sedang menguji keyakinan kami, mungkin Salappa' sedang memastikan bahwa kami, manusia - manusia yang hanya bermodal cerita tentang Mentawai, akan menjadi bagian dari Salappa'.

Empat jam, atau bahkan lebih, dengan pong pong yang sempat tersendat, empat jam itu, mengenal Mentawai dari sudut yang lain. Pertama kali mendengar Mentawai tentunya Tatto tertua di dunia atau Sikerei yang tersohor, dengan mengenakan pakaian adat Mentawai dan Tatto di seluruh badan. 

Pada kenyataannya, Sikerei di Salappa' sudah tak lagi mengenakan pakaian adat, mereka seperti masyarakat biasa, warga masih datang ke Sikerei ketika mereka sakit. Bukan seluruh kesakitan yang disembuhkan oleh Sikerei, Sikerei mengobati apabila ada warga yang sedang dipinjam ruh nya oleh para leluhur. 

"Di Sungai ini banyak buaya kah?"

"Ohh sudah tidak ada buaya, tapi kalau roh buaya masih banyak tentunya."

Konon, dahulu kala di sungai itu memang banyak buaya, namun suatu hari buaya tersebut menghilang. Menurut kepercayaan Suku Mentawai, Roh Buaya masih ada dan akan tetap ada. Sama halnya dengan ruh leluhur. 

Seorang anak lelaki yang menemani ayahnya untuk mengemudi pong pong

"Kakak tidak capek? Saya aja capek"

Dokumentasi pribadi

Dia seorang anak lelaki yang menyelesaikan SMA pada tahun lalu, dan selama setahun ini dia membantu ayahnya untuk bekerja. Apa saja, ke ladang atau mengemudi Pong Pong. 
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline