Beberapa pemuda dan pemudi memasuki pelataran sekolah yang becek. Senyum malu - malu, ragu untuk menghampiri dan lalu berani mengenggam. Kepada anak - anak yang memiliki senyum tulus para pemuda pemudi ini jatuh hati. Kaki melangkah ke dalam kelas yang apa adanya, bangunan dengan sisi yang mulai rusak dan cat terkelupas. Mengajak anak - anak mengukir cita. Jika saja mimpi itu bisa diukir melebihi tingginya langit, tak akan ragu anak - anak ini diajak melukisnya.
Banten. Sebuah provinsi yang tak terlalu jauh dari Ibu Kota, seperti pada tulisan sebelumnya, cerita Saidjah dan Adinda tak bisa lepas dari ingatan. Tiap langkah, tiap ucapan anak lelaki di sekolah ini mengingatkanku pada Saidjah, pemuda yang berani meninggalkan Banten dan datang ke Jakarta. Ia berjuang mati - matian, hingga ia memiliki cukup uang untuk membangun rumah tangga dengan kekasihnya, Adinda.
Meski kehampaan tak berhenti di situ, kekasih yang sudah tiada, rumah yang rata, tujuan tak ada. Keputusasan Saidjah menjadi pemicu doa "Aku tak ingin anak - anak ini bernasib seperti Saidjah"
Sekolah Kandang Ayam bukan satu - satunya harapan yang sedang berjuang. Masih banyak sumber ilmu lain di Banten yang sedang berjuang, mempertahankan agar anak - anak bisa mengenyam pendidikan. Setidaknya baca tulis, lebih bagus jika mereka bisa lulus hingga SMA.
Pernah satu waktu melihat seorang anak yang malu pada kawannya, ia masih belum tau ingin jadi apa kelak. Diam. Memutuskan untuk menyembunyikan jari tangannya. Lekat - lekat kulihat pada matanya yang enggan kutatap.
"Aku mau jadi guru"
"Kenapa?"
Diam.
Ayahnya adalah seorang petani. Ibunya adalah ibu rumah tangga biasa, setiap siang dia mengantar rantang makanan untuk ayahnya di sawah. Dengan suara perlahan ia mulai bercerita
"Aku suka diejek teman karena aku ngga bisa buat layangan."
"Kamu sukanya apa?"