[caption id="attachment_337626" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber: Komnas Perempuan"][/caption]
***
Tahun semakin terlihat senja...
langitnya masih berawan.....
terkadang sedikit basah dengan rintik hujan yang membasuh
kaki-kaki lusuh meninggalkan jejak kecil di sudut jalan
memikul beban dengan usap keringat yang tak pernah kering
***
Di bawah kolong langit yang terlihat sepi...
Rambutnya yang panjang terurai dengan kusam..
entah sudah berapa lama ia ada di balik ruang yang hening..
matanya yang kosong menatap setiap dinding yang semakin usang
secarik kertas terselip di balik tangannya yang kerdil..
tertulis dengan hitam...”kapan senja ini berakhir”
***
Ia tak pernah bermimpi tentang senyum..
karena baginya senyum itu seperti berkhayal..
Ia hanya “diam” dalam pengharapan yang kian hilang
Sepuluh tahun berlalu seperti roda yang memutar cepat
Cerita itu masih sama dan kian buram...
teringat tangan-tangan kekar memaksa tubuhnya dengan kasar
menggrogoti jiwanya dengan kepiluan..
***
Ia terus menjerit meminta keadilan..
namun tubuhnya terus disalahkan atas nama moral
hinaan mencibir setiap detik perjuangannya..
sang Penguasa semakin beringas mengatur tubuh para kaum-nya
hatinya luruh dan mati karena kebenaran yang kian membisu..
***
Ia terus saja menatap senja...
berharap hari selalu pagi...
hingga ia tak lagi bermimpi dan terbangun dengan kasih
dengan tubuh yang mengering..
ia masih ber-asa tentang keadilan atas tubuhnya..
***
*hening*
Puisi ini merupakan Fiksi untuk menggambarkan tingginya angka kekerasan yang terjadi pada Perempuan dan Dalam Rangka memperingati Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan Internasional.
"16 Hari untuk Selamanya"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H