Lihat ke Halaman Asli

Pelanggaran Kode Etik Profesi : Suap Menyuap Melemahkan Integritas Hakim

Diperbarui: 29 Oktober 2022   05:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penyuapan atau suap adalah aktivitas memberikan uang, barang atau bentuk lain dari pemberi suap kepada penerima suap dengan tujuan untuk mengubah sikap penerima atas kepentingan si pemberi. Dalam kamus hukum Black's Law Dictionary, penyuapan diartikan sebagai tindakan menawarkan, memberikan, menerima, atau meminta nilai dari suatu barang untuk mempengaruhi tindakan pegawai lembaga atau sejenisnya yang bertanggung jawab atas kebijakan umum atau peraturan hukum.

Menurut undang-undang Nomor 11 Tahun 1980 suap merupakan tindakan "memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum"; juga "menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum.

Penyuapan bisa dilakukan kepada seluruh pegawai lembaga, termasuk pada penegak hukum. Kasus-kasus penyuapan terhadap penegak hukum marak terjadi belakangan ini, dan yang sering banyak ditemui adalah penyuapan terhadap hakim.

Hakim sebagai seorang yang memutuskan suatu hukum yang seadil-adilnya dengan mudah menerima suap untuk mengabulkan pemberi suap dengan hasil putusan yang diinginkan oleh si pemberi. Hal ini secara tidak langsung melahirkan pemikiran bahwa hukum dan keadilan dapat dibeli dengan uang.

Hakim memiliki kebebasan dalam mengadili dan memutus suatu perkara. Kekuasaan hakim didunia sangat tinggi sehingga tidak ada kekuasaan lain yang dapat mengurangi kebebasan hakim. Kebebasan hakim ini dari satu sisi sangatlah positif karena hal tersebut dapat menghasilkan putusan yang adil.

Akan tetapi, di sisi lain, kekuasaan hakim ini menjadi pembuka pintu bagi hakim untuk melakukan tindakan penerimaan suap. Pengawasan internal dan eksternal hanya menyangkut ada tidaknya pelanggaran etik, sedangkan soal teknis yudisial sepenuhnya diserahkan kepada hakim yang menangani perkara, sehingga sangat terbuka jalan bagi hakim-hakim untuk menyalahgunakan kebebasan yang mereka miliki.

Di dalam kode etik Hakim, hakim diharuskan untuk memiliki integritas yang tinggi dalam menjalankan profesinya. Integritas bermakna sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur, dan tidak tergoyahkan. Integritas tinggi pada hakekatnya terwujud pada sikap setia dan tangguh berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas. Integritas tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan mengedepankan tuntutan hati nurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan serta selalu berusaha melakukan tugas dengan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan terbaik.

Hakim penerima suap telah terbukti tidak mewujudkan nilai nilai integritas yang tinggi yang diharuskan ada dalam diri hakim itu sendiri. Wibawa hakim telah goyah serta nilai-nilai keadilan, kesetiaan, keteguhan, dan kebenaran dari seorang hakim runtuh akibat dari perbuatannya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline