Lihat ke Halaman Asli

Liburan Ala Bolang di Jogjakarta

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Liburan Ala Bolang di Jogja

Pada liburan kenaikan kelas 2 kemarin Aku, Tifany, Githa, Purwaka, Astari, Indah, Refo berlibur ke Jogjakarta selama hampir 2 minggu. Awalnya, kami tidak berencana untuk berlibur . Alasan utama kami ke Jogja adalah untuk mengikuti “Deutsch Abenteuer” yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Sastra Jerman Universitas Negeri Yogyakarta. Kami sudah registrasi dan memesan tiket kereta api sejak 2 minggu sebelumnya. Kami sempat mengalami kendala dalam pemesanan tiket mengingat perjalanan akan dilakukan saat musim liburan dan harga tiket melonjak tinggi. Lalu, pada akhirnya kami berhasil mendapat tiket kereta api kelas ekonomi yang terbilang sangat murah.

Kami berangkat malam hari sekitar pukul 11 dari Stasiun Pasar Senen. Aku pergi ke stasiun tersebut dengan diantar oleh Ayah, Ibu, dan kedua adikku. Sebenarnya, hatiku agak sedih karena aku langsung berangkat ke Jogja sejak hari pertama liburan sekolah dimulai jadi aku tidak sempat berkumpul dengan keluarga. Perjalanan kami terasa begitu lama. Ketidaknyamanan fasilitas kelas kereta yang kami pilih dan hiruk pikuk di gerbong kereta membuat keberangkatan kami terasa luar biasa melelahkan.  Bahkan, aku tidak bisa tidur semalama karena kursi yang terlalu tegak dan kebisingan yang datang dari suara penumpang yang mendengkur.

Setelah hampir 10 jam di kereta, akhirnya kami pun sampai di Stasiun Lempuyangan Jogjakarta. Segera kami menuju ke tempat singgah pertama kami, rumah Dea. Dea adalah teman satu sekolah kami. Kebetulan ia juga tinggal di Jogja dan menawarkan untuk menginap beberapa malam di rumahnya. Rumah Dea terbilang cukup jauh. Kami harus beberapa kali naik angkutan umum hingga sampai. Kami hanya menginap semalam di rumahnya karena besok pagi acara “Deutsch Abenteuer” akan dimulai.

Kegiatan di acara “Deutsch Abenteuer” lalu menurutku tak begitu berkesan di awal, namun setelah antar peserta sudah akrab, barulah kegembiraan benar-benar terbangun. Aku, Githa, Astari, Tifany, Purwaka, dan Refo telah memutuskan sebelumnya untuk tidak terlalu banyak berinteraksi. Menurut kami, akan percuma jika kami tidak mencoba akrab dengan peserta lainnya. Di acara tersebut, kami juga dipertemukan dengan Kak Rama. Dulu ia pernah mengenyam pendidikan di sekolah yang sama dengan kami selama setahun, lalu ia pindah ke Palembang. Beruntung sekali rasanya bisa mengenal sosok Kak Rama. Desas-desus tentang kecerdasannya memang tak lagi asing di telingaku. Dan, setelah 3 hari berlalu akhirnya “Deutsch Abenteuer” selesai.

Acara tersebut bukanlah akhir dari liburan kami. Kami juga menyempatkan diri untuk berjalan-jalan mengelilingi seluruh Jogja. Dengan beraninya kami naik turun Transjogja dengan prinsip “makan murah meriah”. Selama beberapa hari di pusat Jogja, kami cukup sering berganti-ganti hotel. Bisa dibilang akulah yang paling repot karena koper dan ranselku yang besar. Jadi, tentu saja aku kesusahan karena harus menarik koper di jalan sambal mencari hotel super murah. Setiap kali berburu hotel murah, pasti selalu ada saja di antara kami yang kesal dan terkadang cekcok mulut pun terjadi. Memang itu semua salah kami yang terlalu menginginkan gaya liburan ala bolang tanpa berpikir realistis tentang dimana kami akan tinggal. Syukurlah kakak ipar Refo membantu kami mencari penginapan dan taksi. Setelah sampai di hotel, kami pun mandi dan beristirahat sejenak walau pada akhirnya kami begadang sambal bermain kartu.

Keesokan harinya, Refo pun berangkat pulang menuju Jakarta. Katanya, ia tidak tega meninggalkan ibunya di rumah terlalu lama. Setelahnya, kami mendatangi objek wisata Jogja. Candi Prambanan, Pantai Parangtritis, Malioboro, Alun-alun Lor & Kidul,  dan  Plaza Ambarrukmo menjadi tempat wajib yang kami kunjung. Saat ke Jalan Malioboro aku  membeli beberapa oleh-oleh.  Selain itu, kami juga berwisata kuliner. Sop ayam Pak Min, nasi kucing, kopi joss dan sate kuda adalah  kuliner khas Jogja faforitku. Uniknya, di Jogja ada rumah makan yang menjul Indomie  mirip persis seperti bungkusnya dengan harga yang terjangkau untuk liburan ala bolang sepertiku.

Puas keliling pusat kota Jogjakarta, kami pun akhirnya “blusukan” ke daerah pedesaan. Desa tersebut adalah Desa Wonoasari tempat kakek dan nenek Purwaka. Suasana saat menginap dirumah Purwaka agak canggung karena saat itu Purwaka adalah satu-satunya teman pria yang rumahnya kita singgahi. Tenang sekali rasanya di desa itu. Bahkan bermain di sawah dan memberi makan sapi menjadi hal yang begitu menyenangkan buatku.

Voucher potongan wisata Goa Pindul yang kami dapat dari doorprize acara “Deutsch Abenteuer” menjadi acara tambahan diluar rencana perjalanan kami. Kami berwisata ke Goa Pindul dengan menyewa mobil Panther melewati jalan yang naik turun dan berliku-liku. Aku sempat agak mual dan pusing tetapi lelucon yang diceritakan Purwaka dan teman lainnya membuatku melupakan rasa mual itu. Serunya, kami ke Goa Pindul juga bersama Kak Rama.

Dari tempat pembelian tiket, kami masih harus naik mobil bak terbuka dan mendaki sedikit di bukit. Setelah sampai, kami ber-river tubing dengan ban karet yang diikat antara ban satu dan yang lainnya. Ternyata, kedalaman air di Goa Pindul mencapai 20 meter! Di tengah- tengah gua, ada tebing batu kecil yang tingginya sekitar 8 meter. Dengan segala paksaan dan dorongan dari teman-temanku, akhirnya memberanikan diri loncat dari tebing tersebut. Kami pun ,melanjutkan river tubing disungai yang lebih deras. Si pemandu berkata bahwa kami boleh turun dari ban dan berenang di sungai. Dengan nekat, kami menuruti sarannya. Tapi sialnya, tak lama hujan pun turun dan membuat sungai semakin deras dan bertambah debit airnya sehingga kami agak susah untuk berenang melawan arus. Di sisi sungai tersebut juga terdapat tebing yang tingginya sekitar 20 meter. Lagi-lagi, kami merasa tertantang untuk loncat dari tebing tersebut. Akhirnya, kami pun sampai di hilir sungai dan mandi untuk melanjutkn perjalanan ke pantai. Pantai di Jogja sangatlah indah. Pantai Indrayanti, Pantai Baron, dan beberapa pantai tetangganya telah kami datangi.

Tak disangka, malam setelah kami sampai dari wisata padat hari itu, Paman Purwaka menelpon dan mengajak kami untuk sekedar kumpul di Bukit Bintang. Kami pun mengiyakan ajakan tersebut. Semalam suntuk kami, mengobrol sambal menikmati pemandangan kelap-kelip lampu kota Jogja dari Bukit Bintang. Tak lupa, segelas kopi dan mie rebus sebagai pelengkap perbincangan malam itu. Paginya, kami melihat matahari terbit di gunung. Seolah tanpa lelah kami mendaki gunung  hingga puncak teratasnya. Foto-foto menjadi kegiatan wajib kami di semua tempat yang kami kunjungi. Ratusan bahkan ribuan foto telah tersimpan di kamera kami.

Sayangnya, Aku dan Astari harus pulang lebih cepat dari Purwaka, Githa, Tifany, dan Indah karena tak ingin melewatkan hari pertama puasa di rumah. Mereka sekaligus Kak Rama yang hampir tak pernah absen menjadi pemandu wisata kami selama di Jogja ikut mengantarku dan Astari ke Stasiun lempuyangan. Tak rela rasanya meninggalkan Jogja. Namun, aku lebih tak rela lagi melewatkan puasa pertama dirumah bersama keluarga tercintaku. Itulah akhir dari perjalananku di Jogja. Perjalanan ini akan selalu menjadi kenangan menyenangkan dalam hidupku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline