Setiap negara memiliki cara tersendiri dalam merespons dinamika global, termasuk dalam merespons kebijakan luar negerinya. Sejak era Presiden Soekarno, Indonesia secara konsisten menjalankan politik luar negerinya dengan prinsip bebas dan aktif, yakni tidak berpihak pada blok atau kubu mana pun serta secara aktif menjalin hubungan bilateral dan multilateral dengan negara-negara lain. Prinsip ini terus dipertahankan oleh para presiden setelahnya, meskipun dalam implementasinya sering kali berbeda.
Di era Presiden Joko Widodo, citra Indonesia di panggung internasional terus dikembangkan melalui berbagai kebijakan dan agenda diplomasi. Meskipun Presiden Jokowi tidak terlibat secara intens dalam hubungan luar negeri, beliau secara konsisten menegaskan citra Indonesia sebagai negara maritim yang aktif membentuk narasi dan norma hubungan internasional dengan komitmen tinggi terhadap perdamaian dan kemanusiaan, sebagaimana amanat Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang berisi tentang komitmen Indonesia untuk menghapus penjajahan di dunia, menjaga ketertiban dan perdamaian dunia.
Respons Indonesia terhadap Isu Kemanusiaan Global
Konstruktivisme dalam hubungan internasional mengajarkan bahwa realitas global tidak semata-mata terbentuk dari kekuatan material, melainkan dari interaksi sosial dan konstruksi makna bersama. Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi telah menunjukkan praktik nyata pendekatan ini melalui sejumlah respons terhadap krisis internasional. Indonesia ingin menunjukkan identitasnya sebagai Negara yang peduli terhadap HAM dan menjunjung tinggi nilai- nilai kemanusiaan. Salah satu contoh paling mencolok adalah sikap Indonesia terhadap krisis di Myanmar. Dibandingkan negara lain yang sekadar mengutuk secara verbal, Indonesia mengambil pendekatan dialogis melalui ASEAN. Negara ini aktif mendorong rekonsiliasi, membuka akses bantuan kemanusiaan ke Negara Bagian Rakhine, dan mendorong Myanmar untuk memberikan pembaruan berkala tentang situasi internal. Selain itu, Dalam konteks konflik Palestina-Israel, Indonesia tidak sekadar menyuarakan dukungan untuk kemerdekaan Palestina. Lebih dari itu, Indonesia secara konsisten mempromosikan dialog dan solusi damai. Hal ini menunjukkan bahwa identitas Indonesia dibentuk bukan dari sikap reaktif, melainkan proaktif dalam mencari penyelesaian konflik.
Pada Juni 2022, Presiden Jokowi mengunjungi Ukraina dan memberikan bantuan kemanusiaan sebagai representatif kepedulian masyarakat Indonesia terhadap fenomena invasi yang melanda Ukraina. Dalam pertemuan tersebut, Jokowi mengingatkan akan semangat perdamaian yang tidak boleh luntur. Indonesia memberikan bantuan kemanusiaan yang mencakup berbagai kebutuhan mendesak, mulai dari bahan pangan, obat-obatan, hingga dukungan logistik lainnya. Komitmen Indonesia tidak berhenti pada sekadar pemberian bantuan material, melainkan jauh lebih dalam. Presiden Jokowi secara eksplisit menyatakan kesediaan Indonesia untuk menjadi jembatan perdamaian antara Rusia dan Ukraina. "Indonesia siap menjadi jembatan perdamaian antara Ukraina dan Rusia," tegasnya, "dan upaya mengakhiri konflik internasional telah menjadi salah satu prioritas dari tujuan kebijakan luar negeri Indonesia." Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Ukraina terus berkembang dengan baik, dan Indonesia berhasil menunjukkan bahwa solidaritas kemanusiaan dapat melampaui batas-batas geografis dan perbedaan latar belakang. Melalui berbagai forum dan dialog, Indonesia membuktikan diri sebagai negara yang memiliki peran signifikan dalam mendorong perdamaian global.
Komitmen kemanusiaan Indonesia paling mutakhir terlihat pada April 2024, ketika Presiden Jokowi secara langsung melepas pengiriman bantuan kemanusiaan senilai 30 miliar rupiah ke Gaza dan Sudan. Dalam acara di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jokowi menegaskan kepedulian Indonesia terhadap saudara-saudara yang sedang mengalami kesulitan. "Kita turut prihatin atas peristiwa kemanusiaan yang terjadi di Gaza dan juga konflik internal yang terjadi di Sudan yang menimbulkan banyak korban," tegas Jokowi. Bantuan yang dikirim mencakup obat-obatan, peralatan kesehatan, dan kebutuhan mendesak lainnya, disesuaikan dengan permintaan resmi pemerintah setempat. Dalam Krisis Afghanistan pasca penarikan pasukan Amerika Serikat, Indonesia juga turut berpartisipasi melalui Diplomasi Soft Power. Negara ini tidak hanya fokus pada aspek keamanan, tetapi memperhatikan dimensi kemanusiaan, khususnya hak-hak perempuan dan kelompok rentan. Pendekatan ini menunjukkan bahwa Indonesia melihat isu global tidak sekadar dari perspektif strategis, melainkan dari sudut pandang kemanusiaan.
Dalam pidatonya di Sidang Umum PBB ke-76, Jokowi menyampaikan: "Kita harus tetap serius melawan intoleransi, konflik, terorisme, dan perang. Perdamaian dalam keberagaman, jaminan hak perempuan, dan kelompok minoritas harus kita tegakkan. Potensi kekerasan dan marginalisasi perempuan di Afghanistan, kemerdekaan Palestina yang semakin jauh dari harapan, serta krisis politik di Myanmar harus menjadi agenda kita bersama." Melalui pernyataan tersebut, Presiden Jokowi menunjukkan sikap responsif terhadap isu-isu internasional sekaligus mengajak negara-negara anggota PBB untuk berkolaborasi dalam menyelesaikan krisis tersebut. Jokowi berupaya memperkuat citra Indonesia sebagai negara yang peduli terhadap isu-isu kemanusiaan serta menjunjung tinggi nilai HAM dan demokrasi.
Peran Jokowi dalam Merespons Isu Internasional dalam Perspektif Konstruktivisme
Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi telah membuktikan bahwa sebuah negara dapat memainkan peran signifikan dalam membentuk tatanan global melalui sikap proaktif, dialogis, dan berbasis pada prinsip-prinsip kemanusiaan. Dengan pendekatan ini, Indonesia tidak sekadar mengharapkan perubahan, tetapi aktif berkontribusi menciptakan tatanan internasional yang lebih adil, toleran, dan bermartabat. Negara kepulauan ini telah menunjukkan bahwa diplomasi kemanusiaan bukanlah sekadar konsep teoritis, melainkan praktik nyata yang dapat memberikan harapan di tengah kompleksitas konflik global.
Konstruktivisme dalam diplomasi Indonesia membuktikan bahwa kemampuan sebuah negara untuk memberikan pengaruh positif tidak ditentukan oleh kekuatan militer atau ekonomi semata, melainkan oleh respons dan komitmen negara terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H