Lihat ke Halaman Asli

Kita Butuh Parlemen Kuat

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14098817161829954126

[caption id="attachment_357355" align="aligncenter" width="276" caption="(Suaramu adalah suara rakyat,bukan suara golongan,bekerjalah demi rakyat sumber foto:jurnalparlemen.com)"][/caption]

Pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) terpilih, Joko Widodo - Jusuf Kalla (Jokowi-JK) membutuhkan tambahan kekuatan di parlemen. Secara rasional politik, kami butuhkan kekuatan di parlemen. Secara tidak langsung, kami butuh kekuatan 50 persen ditambah satu. Harapannya,  kinerja pemerintahan akan efektif karena tidak dihalangi oleh parlemen.

Seperti diketahui, terdapat enam parpol yang bukan pengusung Jokowi-JK. Ada pun keenam parpol tersebut yakni Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Partai Demokrat (PD) yang awalnya netral pada akhirnya mendukung pasangan Prabowo-Hatta bersama keenam parpol itu.

Sementara parpol pengusung Jokowi-JK yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).

Pemimpin ingin Miliki Parlemen yang Kuat

Pengamat politik dari Polmark Indonesia, Eep Saefulloh Fatah mengatakan siapa pun calon presiden yang terpilih dalam Pemilu Presiden nanti harus memiliki parlemen yang kuat agar tak ada hambatan dalam menjalankan roda pemerintahan.

"Siapa pun presiden yang terpilih, mau tak mau harus menimbang di DPR bila tak ingin ada hambatan yang berarti. Presiden akan `terkerangkeng` bila parlemen tidak kuat," kata Eep saat menjadi pembicaraan dalam dialog kebangsaan di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Jakarta, Selasa.

Namun demikian, kata dia, persoalan itu dapat diatasi bila Indonesia memiliki pemimpin yang berkarakter kuat dan otentik. Menurutnya jalannya pemerintahan bisa terjebak oleh kelambanan yang disebabkan bercampurnya sistem presidensial dan parlementer yang kita anut. Percampuran sistem itu bisa dipecahkan dengan masalah kepemimpinan. Karakter kuat dan berani yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah berani mengambil risiko dalam melaksanakan kebijakan negara. Sedangkan karakter otentik, menurutnya, adalah kepemimpinan yang mampu menggerakkan masyarakat tanpa takut untuk terjerat oleh perilakunya sendiri. Pemimpin yang bergerak bebas karena tak memiliki kesalahan yang membuat dia tersandera. Dirinya yakin, dengan tipe kemimpinan seperti itu, maka percampuran sistem tak akan membuat dia terkerangkeng.

"Eksperimen sistem yang saat ini dilakukan di Indonesia bukan tak mungkin akan sukses," katanya.

Ia pun tak memungkiri percampuran sistem ini akan membuat jalannya pemerintah terseok-seok apalagi hasil pemilu legislatif lalu tak menempatkan pemenangnya dengan persentase yang menonjol. PDIP hanya meraih 18,95 persen. Sedangkan partai terendah yang lolos ambang batas parlemen meraih 5,26 persen.

Namun, Eep juga jangan lupa dengan sejarah kepemimpinan di Indonesia, dominasi Presiden telah membuat Parlemen lumpuh. Akhirnya yang terjadi adalah otoritarianisme. Pada masa Orde Lama Partai Masyumi dibubarkan oleh Presiden Sukarno secara sepihak. Di Zaman Orba, Partai-partai dikebiri dan diciutkan oleh Presiden Suharto menjadi 2 saja. Selanjutnya kekuasan Presiden berjalan tanpa batas.

Metamorfosa Sistem Presidensial

Sistem presidensial (presidensial), atau disebut juga dengan sistem kongresional, merupakan sistem pemerintahan negara republik dimana kekuasan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasan legislatif. Menurut Rod Hague, pemerintahan presidensiil terdiri dari 3 unsur yaitu:

Presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait. Presiden dengan dewan perwakilan memiliki masa jabatan yang tetap, tidak bisa saling menjatuhkan. Tidak ada status yang tumpang tindih antara badan eksekutif dan badan legislatif.

Dalam sistem presidensial, presiden memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan karena rendah subjektif seperti rendahnya dukungan politik. Namun masih ada mekanisme untuk mengontrol presiden. Jika presiden melakukan pelanggaran konstitusi, pengkhianatan terhadap negara, dan terlibat masalah kriminal, posisi presiden bisa dijatuhkan. Bila ia diberhentikan karena pelanggaran-pelanggaran tertentu, biasanya seorang wakil presiden akan menggantikan posisinya. Model ini dianut oleh Amerika Serikat, Filipina, Indonesia dan sebagian besar negara-negara Amerika Latin dan Amerika Tengah.

Secara teori, berdasarkan UUD 1945, Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensiil. Namun dalam prakteknya banyak bagian-bagian dari sistem pemerintahan parlementer yang masuk ke dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Sehingga secara singkat bisa dikatakan bahwa sistem pemerintahan yang berjalan Indonesia adalah sistem pemerintahan yang merupakan gabungan atau perpaduan antara sistem pemerintahan presidensiil dengan sistem pemerintahan parlementer.

Dalam sistem pemerintahaan presidensiil yang dianut di Indonesia, pengaruh rakyat terhadap kebijaksanaan politik kurang menjadi perhatian. Selain itu, pengawasan rakyat terhadap pemerintahan juga kurang begitu berpengaruh karena pada dasarnya terjadi kecenderungan terlalu kuatnya otoritas dan konsentrasi kekuasaan yang ada di tangan presiden. Selain itu, terlalu sering terjadi pergantian pejabat di kabinet karena presiden mempunyai hak prerogatif untuk melakukan itu.

Memasuki masa Reformasi ini, bangsa Indonesia bertekad untuk menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis. Untuk itu, perlu disusun pemerintahan yang konstitusional atau pemerintahan yang berdasarkan pada konstitusi. Pemerintah konstitusional bercirikan bahwa konstitusi negara itu berisi: adanya pembatasan kekuasaan pemerintahan atau eksekutif, jaminan atas hak asasi manusia dan hak-hak warga negara.

Berdasarkan hal itu, Reformasi yang harus dilakukan adalah melakukan perubahan atau amandemen atas UUD 1945. dengan mengamandemen UUD 1945 menjadi konstitusi yang bersifat konstitusional, diharapkan dapat terbentuk sistem pemerintahan yang lebih baik dari yang sebelumnya. Amandemen atas UUD 1945 telah dilakukan oleh MPR sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. berdasarkan UUD 1945 yang telah diamandemen itulah menjadi pedoman bagi sistem pemerintahan Indonesia sekarang ini.

Sistem pemerintahan ini juga mengambil unsur-unsur dari sistem pemerintahan parlementer dan melakukan pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan yang ada dalam sistem presidensial. Beberapa variasi dari sistem pemerintahan presidensial di Indonesia adalah sebagai berikut;

1.Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul dari DPR. Jadi, DPR tetap memiliki kekuasaan mengawasi presiden meskipun secara tidak langsung.

2.Presiden dalam mengangkat penjabat negara perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR.

3.Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR.

4.Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undang-undang dan hak budget (anggaran)

Dengan demikian, ada perubahan-perubahan baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hal itu diperuntukan dalam memperbaiki sistem presidensial yang lama. Perubahan baru tersebut, antara lain adanya pemilihan secara langsung, sistem bikameral, mekanisme cheks and balance, dan pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran.

Sistem pemerintahan ini juga mengambil unsur-unsur dari sistem pemerintahan parlementer dengan melakukan pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan yang ada dalam sistem presidensial. Beberapa variasi dari sistem pemerintahan presidensial di Indonesia adalah sebagai berikut; Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul dari DPR. Jadi, DPR tetap memiliki kekuasaan mengawasi presiden meskipun secara tidak langsung. Presiden dalam mengangkat penjabat negara perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR. Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR.

Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undang-undang john hak price range (anggaran) Dengan demikian, ada perubahan-perubahan baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hal itu diperuntukan dalam memperbaiki sistem presidensial yang lama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline