Lihat ke Halaman Asli

25 Triliun Dipinjamkan, Apa Kabar MRT?

Diperbarui: 25 Februari 2018   10:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Badan Kerjasama Internasional Jepang atau yang biasa disebut sebagai Japan International Coorporation Ageny(JICA) merupakan suatu badan bentukan pemerintah Jepang yang bertujuan untuk membantu pembangunan negara-negara berkembang. Lebih dari 20 negara di Asia sudah digaet oleh JICA sebagai tempat pelaksanaan proyek-proyek bantuan pembangunan negara. Tidak terkecuali Indonesia. Jepang bekerjasama dengan Indonesia dalam berbagai bidang, di antaranya adalah pertukaran pelajar dan pembangunan infrastruktur domestik.

Hubungan bilateral antara Indonesia dan Jepang yang sudah berlangsung selama 60 tahun ini bermula dari penandatanganan perjanjian perdamaian antara Republik Indonesia dan Jepang. Seperti yang diucapkan oleh Utusan Khusus Perdana Menteri Jepang, Toshihiro Nikai mengatakan, kerjasama Indonesia-Jepang sudah bisa dirasakan oleh masyarakat. 

Contohnya saja bantuan saat terjadi gempa di Sumatera dan di bagian Timur Jepang. Belum lagi ditambahkan dengan adanya megaproyek yang sedang berjalan, yaitu Mass Rapid Transit (MRT). Proyek MRT dibentuk atas dasar pemecahan solusi untuk permasalahan yang sudah menempel erat dengan citra Jakarta: macet. Kemacetan yang diprediksi akan bertambah parah -- bahkan sampai tidak bisa membuat mobil bergerak saat baru keluar dari garasi rumah -- pada tahun 2020 mendatang menjadi faktor utama transportasi utama di kota besar diteroboskan. Namun, dalam proyek pembuatan MRT tentulah menghabiskan dana yang tidak sedikit serta tenaga kerja yang banyak dan andal pun sangat dibutuhkan.

Melalui JICA, Perdana Menteri Shinzo Abe, dan Ketua Asosiasi Jepang-Indonesia (Japinda) Yasuo Fukuda dan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, Jepang dan Indonesia terus mengembangkan kerjasama-kerjasama yang dilakukan, terutama dalam bidang infrastruktur, yaitu MRT. Dalam proses hubungan kerjasama ini pula, Indonesia incar pelancaran dan percepatan proyek MRT. 

Seperti yang dilansir dari Liputan6.com, PT MRT Jakarta berencana mengajukan tambahan pendanaan dari Pemerintah Jepang melalui Japan International Coorperation Agency(JICA) terkait perubahan desain konstruksi yang dilakukan karena adanya perubahan standar kegempaan untuk DKI Jakarta. Direktur Keuangan MRT Jakarta Tuhiyat pun menambahkan, meski sedang dalam penilaian, namun pihaknya beserta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah memiliki pagu yang diusulkan ke pemerintah Jepang sebesar Rp2,5 triliun. 

Sebelumnya, proyek MRT Jakarta fase pertama dengan rute Lebak Bulus-Bundaran HI sesuai kontraknya sudah mendapat pinjaman pendanaan dari pemerintah Jepang sebesar 125 miliar yen. Proyek yang ditargetkan akan selesai dan beroperasi pada 2019 inipun dikabarkan telah mencapai progres sebanyak 56,41 persen. Kereta pun telah diuji coba di Jepang yang disaksikan langsung oleh Direktur Utama PT MRT Jakarta William Sabandar dan dua kereta akan segera diberangkatkan ke Jakarta dari Jepang.

Mengetahui progres dan pencapaian megaproyek MRT ini, masyarakat tidak bisa tidak dibuat penasaran oleh bayangan-bayangan akan seperti apa nanti jadinya hasil kerjasama antara dua negara yang bersangkutan. Dengan menggunakan teknologi Jepang dan tenaga kerja Indonesia, tidak diragukan bahwa masyarakat akan sangat menantikan kereta yang kabarnya akan mulai beroperasi pada Maret 2019 nanti ini. Namun, yang sekarang menjadi pertanyaan penting masyarakat akan proyek MRT ini adalah, apakah benar MRT akan mengurangi macet di Jakarta?

Dilansir dari REPUBLIKA.CO.ID, sebagian warga DKI Jakarta mengeluhkan pembangunan moda transportasi MRT, yang di beberapa titik dinilai memperparah kemacetan di Ibu Kota. Seperti di Jalan Fatmawati misalnya. Biasanya, dari Fatmawati ke Melawai memang macet, namun, menurut beberapa pengguna kendaraan bermotor, setelah adanya pembangunan proyek MRT, kemacetan justru bertambah parah.

Menanggapi hal ini, dilansir dari tirto.id, kepada reporter Tirto, William P. Sabandar, Direktur Utama PT MRT Jakarta, berkata permasalahan macetnya ibu kota tak akan teratasi jika tidak ada integrasi penyediaan transportasi umum dengan kebijakan yang dibuat pemerintah. Dikutip dari Kompas.com pula, Dono Boestami, Direktur Utama PT MRT Jakarta, mengucapkan bahwa MRT hanya akan mengurangi kemacetan sekitar 30 persen. Meskipun didukung oleh teknologi canggih dari Jepang, tetap saja kesuksesan MRT, menurut Dono bukan diukur dari infrastruktur yang canggih, melainkan dari pengaruhnya terhadap budaya komuter masyarakat Jakarta.

Untuk sekarang, masyarakat hanya bisa menanti-nanti seperti apa nantinya transportasi ini akan berjalan. Berdasarkan teori Perjanjian Internasional, hubungan Indonesia-Jepang ini bisa dikatakan sebagai executory treatiesdi mana kedua belah pihak masih akan terus memperbaharui kesepakatannya seiring berjalannya waktu. Megaproyek MRT ini juga akan masih dirundingkan lebih lanjut untuk fase-fase berikutnya dan penyelesaiannya seperti yang dilakukan dalam peringatan 60 tahun kerjasama Indonesia-Jepang bulan Januari lalu. Dengan ini, diharapkan megaproyek MRT akan cepat selesai dan beroperasi serta diharapkan hubungan bilateral Indonesia-Jepang pun akan semakin baik.

Daftar Pusaka

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline