Lihat ke Halaman Asli

SN W

Biasa saja

Cintaku, Nodamu (9)

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Aku bingung saat taxi yang membawaku dari rumah mbak Widya berhenti pada sebuah rumah besar tapi sederhana. Halamannya luas dengan beberapa pohon besar berdiri kokoh. Andai Bukan Pak Karim aku tidak mungkin mau naik taxi tadi. Dibawa lagi ke tempat asing seperti ini. Seorang wanita berpakain putih mirip suster berdiri di teras. Beliau menganggukan kepala saat melihatku turun. Lalu memberi kode agar aku mengikutinya.

Kupandangi sekeliling. Ada sebuah papan nama kecil yang tergantung di dinding rumah dekat pintu masuk. Aku memperlambat langkahku. Sekilas aku hanya sempat membaca tulisan “Bidan Hayati”. Hah? Aku tambah bingung. Aku mencoba mengimbangi langkah suster itu. Tiba di dalam kami harus melewati beberapa ruangan. Ternyata luas sekali di dalam. Tempat ini tidak tampak seperti rumah. Lebih mirip asrama. Terdapat beberapa kamar.

Tiba di sebuah kamar yang paling ujung yang terpisah agak jauh dari kamar-kamar lainnya, suster itu mengetuk pintu pelan lalu membukanya. Dan aku terpaku beberapa saat. Antara percaya dan tidak aku melihat seorang ibu dengan berpakaian daster yang mirip mbak Widya sedang berdiri di dekat sebuah boks bayi yang di dalamnya ada seorang bayi mungil yang sedang tertidur pulas. Ibu itu tersenyum ke arahku.

Ya, ampun, benar itu mbak Widya. Penampilannya yang sungguh lain membuatku pangling. Majikanku berpakaian seperti layaknya ibu-ibu rumah tangga biasa. Tanpa make-up, seperti kesehariannya selama ini. Dan Rambutnya digelung seadanya ke belakang.

“Kaget ya?” tanya mbak Widya. Aku mengangguk. Mbak Widya mengikuti arah pandanganku ke boks bayi. Dia lalu menarik tanganku mendekati boks itu,

“Cantik ya?” tanyanya yang lebih mirip sebuah pernyataan. Benar. Bayi itu sungguh cantik. Kulitnya yang merah dengan rambut hitamnya yang lebat. Bulu matanya lentik dan alisnya yang tebal berjejer rapi seperti bulan sabit kecil. Hidung bangir dengan bibir kecil mungil. Sungguh perpaduan yang begitu indah.

Mbak Widya mengangkat bayi itu lalu diciumnya beberapa kali. Kemudian diserahkannya padaku.

“Kamu mau menggendongnya?”

Aku menatap ragu. Sungguh, saat ini dikepalaku penuh dengan tanda tanya.

“Dia anakku,” jelas mbak Widya yang membuatku tersentak.

Sekilas aku melihat bayangan sendu dalam bola mata wanita itu. Mbak Widya kembali menyodorkan bayi itu. Aku menerimanya. Tak sadar aku mendekatkan bayi mungil itu ke pipiku. Sebenarnya dari tadi aku sudah gemas sekali ingin menciumnya. Aku merasakan kelembutan saat bayi itu terbangun menggerak-gerakkan bibirnya yang mungil di pipiku. Aku tersenyum, dan..........

***

Aku tersenyum saat bayi mungil itu terus menggesek-gesekan pipi dan bibirnya di wajahku. Kali ini semua wajahku ditelusurinya. Pipiku, bibirku...mataku berulang-ulang dan sebuah suara...

“Eh, masih bobo lagi.”

Lalu gesekan-gesekan lembut itu terulang lagi. Aku membuka mataku. Seraut wajah mungil sedang tersenyum lebar di depanku. Cinta! Aku memicingkan mataku coba mengingat apa yang terjadi. Aku terduduk dengan Cinta yang duduk manis di atas pahaku. Rupanya tadi aku tertidur. Cinta terkekeh. Aku merasa aku belum lama tidur. Semalaman aku hanya bisa membolak-balikan badanku saja. Peristiwa lima tahun silam masih terasa begitu membekas.

“Udah siang, mah. Tuh matahalinya sudah tinggi.” Cinta menunjuk keluar jendela. Aku terperanjat. Ya, ampuun! Aku kesiangan. Segera aku bergegas. Hari ini aku mengajar di jam pertama. Gawat! Kubayangkan wajah Pak Harno, kepala sekolahku nanti.

Sepuluh menit kemudian aku sudah siap dengan seragam guruku di depan cermin. Ekspres. Aku mematut diriku sekali lagi. Beres deh. Cinta menatapku dengan wajah polosnya saat aku mencium kedua pipinya. Dari sorot matanya aku tahu bocah itu ingin ikut ke tempatku mengajar. Kutepuk kedua pipinya lembut.

“Mama pergi dulu, ya,” kataku pamit yang dibalas dengan anggukan oleh Cinta.

Setelah mencium tangan bundaku aku pun menstarter mio-ku meluncur di jalanan yang penuh lubang. Waktu tempuh yang diperlukan untuk sampai di sekolah tempatku mengajar seharusnya hanya 20 menit. Tapi karena jalanannya rusakdan berlubang-lubang jadi hampir satu jam.

Sekitar dua ratus meter mio-ku meluncur, aku melihat seorang pemuda sedang berdiri dengan rambu ukur di pinggir jalan. Tak jauh dari situ seorang lagi sedang meneropong dengan theodolit. Aku menarik napas berat. Dulu aku juga sempat seperti mereka.

Sebagai seorang fresh-graduate aku mencoba melamar di sebuah perusahaan kontraktor kecil dengan berbekal ijazah sarjana teknik sipilku. Sayangnya aku tidak bisa bertahan lama karena aku diharuskan selalu meninggalkan bunda dan Airin berbulan-bulan dengan seorangbayi mungil yang hadir begitu tiba-tiba dalam keluargaku. Perusahaan kontraktor tempatku bekerja sering mendapat proyek di luar daerah. Aku tidak mungkin membuat bunda terbebani oleh kehadiran bayi mungil itu.

Aku masih ingat ekspresi wajah bunda dan Airin dulu saat aku membawa bayi mungil itu, yang kemudian kuberi nama Cinta ke rumah. Walaupun bunda sangat mengasihiku, tapi waktu melihat aku, bunda sangat murka. Kalau saja saat itu Cinta tidak berada dalam gendonganku mungkin aku sudah dijambaknya. Bunda mengira aku telah membuat malu keluarga. Bunda berteriak histeris. Aku sempat menerima tamparannya. Tapi akhirnya bunda balik memelukku, menyesali perbuatannya setelah tahu apa yang terjadi.

Aku tidak bisa menolak karena utang budiku pada mbak Widya. Mbak Widya sebenarnya menyayangi Cinta, tapi dia tidak bisa mengungkap kehadiran Cinta pada kelurganya. Di samping karena merupakan aib yang bisa menjadi badai, mbak Widya takut mamanya akan terkena serangan jantung. Dan Randu, adiknya itu bisa saja bertindak nekat. Mbak Widya tidak ingin merusak segalanya.

Akhirnya dengan berbekal sisa uang yang diberikan mbak Widya kepadaku dan tabunganku, aku mengambil kuliah aktaempat di salah satu perguruan swasta. Setelah itu aku melamar jadi PNS di propinsi Sulawesi Tenggara. Dan terdamparlah aku di sini sekarang, di desa Molinese, Kecamatan Lainea sebagai seorang guru sekolah dasar.

Aku menepikan mioku di tempat parkir dekat kantin sekolah. Dengan setengah berlari aku pun melangkah di koridor sekolah menuju ke kelas 6a. Beberapa murid yang sedang asyik bergerombol segera membubarkan diri kembali ke tempat duduknya masing-masing saat aku masuk memberi salam.

“Hari ini kita ulangan,” beritahuku. Terdengar keriuhan dalam kelas.

“Mengapa? Ibu kan sudah beritahu pada pertemuan yang lalu. Jadi tidak ada alasan. Kumpul semua tas di depan,” kataku tegas. Murid-murid mengikuti.

Aku lalu membagi kertas ulangan. Beberapa murid tampak resah. Setelah itu aku duduk memperhatikan mereka mengerjakan soal-soal yang kuberikan. Perlahan rasa kantuk menyerangku. Ah, aku tidak boleh tertidur sini. Akan sungguh memalukan.

Aku berjalan ke arah pintu. Aku tahu beberapa muridku yang tampak gelisah tadi sedang beraksi. Aku keluar sebentar berdiri di depan pintu mencoba untuk menghilangkan kantukku. Aku memandang jauh ke depan. Di sana, di seberang jalan ada beberapa orang pria sedang berbicara dengan Pak Thamrin, pemilik kios di pinggir jalan itu. Dilihat dari cara mereka berpakaian, mereka bukan warga sini. Sempat terbersit rasa heran tapi aku segera menepisnya dari kepalaku. Aku lebih memilih berkonsentrasi di dalam kelas. Hari ini aku merasa lesu, tak bergairah. Aku ingin cepat-cepat sekali pulang.

Akhirnya setelah menunaikan tugasku aku pun segera kembali ke rumah. Namun sebuah avanza putih sedang terparkir di depan rumah menyambutku saat aku tiba. Aku jadi terheran-heran. Tiga pasang mata mengarah kepadaku saat aku masuk. Aku menyalami mereka sambil tersenyum setelah bunda memperkenalkanku. Rupanya mereka yang saya lihat di seberang jalan di sekolah tadi.

“Begini, Niar, bapak-bapak ini sedang mencari tukang masak untuk para karyawannya. Mereka ini nanti yang akan memperbaiki jalan-jalan yang rusak di sini,” jelas bunda.

“Ya, mbak. Kami tadi tanya warga sekitar dan mereka mengarahkan ke sini,” kata Pak Jayus.

“O begitu.” Aku manggut-manggut. “Dulu memang kami melayani katering, pak. Tapi sekarang tidak lagi, semenjak adik saya sudah menikah,” jelasku sambil melirik bundaku. Aku tahu bunda tidak setuju dengan kata-kataku.

“Ooo....bagaimana ya!?” tanya Pak Jayus agak menyesal. Dia menoleh ke arah temannya yang sedari tadi tidak berhenti menatapku.

“Mbak tahu di mana kami bisa menemukan orang yang bersedia jadi tukang masak?”

Aku menggeleng.

“Coba bapak tanya-tanya saja sama warga di sini. Siapa tahu ada yang bersedia,” saranku.

Akhirnya mereka pun pamit.

“Mengapa kamu menolak?” tanya bunda penasaran. “Airin kan tidak tinggal jauh dari sini. Hanya di desa sebelah.”

“Yang mereka cari itu tukang masak, bunda. Yang harus tinggal di mess mereka. Bukan mau katering,” jelasku. Bunda manggut-manggut. “Kerjanya susah. Ya kayak pembantu.” Aku menambahkan.

Aku pun segera menelpon Airin memberitahukan tentang orang-orang tadi. Aku khawatir kalau mereka sampai mencari ke desa sebelah dan bertemu dengan Airin, adikku itu akan setuju. Aku tidak akan membiarkan siapa pun dalam anggota keluargaku mengalami nasib yang sama bekerja sebagai pembantu seperti aku dulu. Biar sepahit apa pun kehidupan kami, lebih baik kami membuat usaha kecil-kecilan. Cukup aku saja yang pernah merasakan pengalaman pahit itu.

Dua hari kemudian aku melihat kesibukan di rumah Pak Kasim, tetangga sebelahku. Beberapa barang Pak kasim berupa lemari, tempat tidur dan kursi tamu diangkat masuk ke dalam sebuah truk. Sementara itu ada lagi truk yang lain sudah penuh dengan meja-meja biro, spring bed dan beberapa perabot lain yang tidak jelas kulihat. Bunda tiba-tiba berdiri di belakangku ikut memperhatikan. Tampak di depan segerombolan anak-anak kecil, termasuk Cinta, ikut juga menonton. Aku sudah bisa menebak. Pasti Pak Kasim menyewakan rumahnya untuk kantor sekaligus mess bagi orang-orang proyek itu. Pak Jayus yang merupakan salah satu dari mereka berjalan ke arah kami. Lelaki itu tersenyum sambil menyodorkan tangannya memberi salam lalu berdiri bersisian dengan kami.

“Mah, Cinta hauss nih.” Cinta tiba-tiba muncul menarik tanganku. Pak Jayus melirik Cinta.

“Anak mbak?”

“Ya,pak.”

Pak Jayus manggut-manggut sambil tersenyum. Aku pun berjalan mengikuti Cinta ke dapur untuk mengambilkan minum. Setelah itu aku enggan keluar lagi tapi langsung membawa Cinta ke kamar untuk tidur siang.

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline