Lihat ke Halaman Asli

Safariyna MA

Mahasiswa UNAIR

Pentingnya Pengesahan RUU Perampasan Aset bagi Penyelenggara Negara

Diperbarui: 3 Mei 2023   21:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Tingginya sorotan publik terhadap beberapa kasus yang melibatkan pejabat negara dengan kemewahan yang tidak wajar belakangan ini membuat merosotnya kepercayaan terhadap penyelenggara negara. Publik menjadi kecewa karena penyelenggara negara yang terlibat justru banyak  dari kepala daerah dan pejabat pajak negara. 

Beberapa yang bisa disebut yaitu Kasus Korupsi Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah pada Februari 2021, Kasus Korupsi Gubernur Papua Lukas Enembe pada September 2022 dan kasus Pejabat Pajak Jakarta Selatan, Rafael Alun Trisambodo yang sedang berlangsung sekarang.

Langkah pemerintah mengajukan RUU Perampasan aset dalam menanggulangi kerugian negara saat ini sedang bergulir. Pada saat ini RUU tersebut sedang masuk kedalam tahap Pembahasan Tingkat II di DPR-RI. RUU Perampasan aset adalah draft regulasi yang dibuat oleh pemerintah, dalam hal ini Kementrian Hukum dan HAM, yang nantinya setelah dibahas dengan Komisi III DPR-RI akan disahkan sebagai Undang-undang (UU).   

Penyusunan RUU ini sebetulnya sudah dimulai sejak tahun 2003 yang diinisiasi oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Rumusannya sendiri mengadopsi dari ketentuan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia menjadi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi.

RUU Perampasan Aset memiliki tujuan untuk menyita dan merampas aset pejabat negara dari pendapatan yang tidak wajar, serta tidak dapat dibuktikan diperoleh secara sah, serta terbukti mengakibatkan kerugian negara secara nyata. Aset yang disita dan dirampas bukan saja aset hasil korupsi tapi semua aset terkait tindak pidana dengan nilai diatas Rp. 100 juta dan ancaman pidana diatas 4 tahun.

Jika RUU ini disahkan menjadi Undang-undang, maka Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memiliki payung hukum dalam bertindak  penelusuran aset, terutama aset yang tidak seimbang dengan penghasilan, memiliki dasar ketentuan pemblokiran dan penyitaan perampasan aset, tata cara pemanggilan, wewenang mengadili, ketentuan acara pemeriksaan di sidang pengadilan, pembuktian dan putusan pengadilan, tata cara pengelolaan aset, perlindungan terhadap pihak ketiga bahkan juga kerjasama internasional.

Mengapa begitu penting untuk menyita dan merampas aset dari para Pelaku ?

Dikutip dari laman web kpk.go.id kerugian negara akibat tindak pidana korupsi membawa dampak berupa melambatnya pertumbuhan ekonomi negara, menurunnya investasi, meningkatkan kemiskinan serta meningkatnya ketimpangan pendapatan.

Perlambatan pertumbuhan ekonomi negara dapat dilihat dari mahalnya harga jasa dan buruknya pelayanan publik, terbatasnya fasilitas umum seperti fasilitas pendidikan dan kesehatan. 

Menurunnya investasi terjadi akibat investor enggan masuk ke Indonesia, disebabkan biaya transaksi ekonomi yang tinggi karena merajalelanya suap dan pungutan liar (pungli) dan sistem kelembagaan yang buruk. Laporan Transparency International pada tahun 2022 mengumumkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia jatuh dari peringkat ke-96 ke peringkat ke-110 secara global. 

Peringkat ini membuat para investor memandang Indonesia memiliki masalah korupsi yang serius dan tidak menguntungkan untuk menjadi tempat berinvestasi. Selanjutnya kemiskinan yang meningkat dan ketimpangan pendapatan terjadi akibat diambilnya sumber daya publik ke tangan para pelaku korupsi sehingga uang pembelanjaan pemerintah menjadi menyusut.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline