Ikon sastra Banyumas adalah Achmad Tohari. Santri asal Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang Kabupaten Banyumas ini pernah merantau ke Jakarta bekerja sebagai redaktur Harian Merdeka, majalah Keluarga dan Amanah di Merdeka Grup milik BM Diah. Novel pertamanya Kubah, disusul trilogi Ronggeng Dukuh Paruh telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, menjadikan dirinya Begawan sastra Banyumas.
Sebenarnya angkatan di bawah Kang Tohari banyak mewarnai khasanah sastra lokal, regional dan nasional. Di Purwokerto tumbuh komunitas-komunitas sastra yang melahirkan para penyair, cerpenis dan novelis. Salah satu komunitas yang menggembleng anak-anak muda menjadi penulis adalah RKWK (Rumah Kreatif Wadas Kelir)
Beberapa kali saya melongok ke Rumah Kreatif Wadas Kelir (RKWK) yang berdiri pada tahun 2013. Awalnya Heru Kurniawan, dosen sastra di STAIN Purwokerto yang mendirikan RKWK ini harus jatuh bangun untuk mengajak masyarakat melek literasi. Bermula dari TBM (Taman Bacaan Masyarakat) yang pengelolaanya dibantu oleh beberapa mahasiswa dari STAIN dan UMP yang menjadi relawan berjuang penuh pengabdian mengajak anak-anak Grumbul Wadas Kelir Desa Karangklesem ini untuk gemar membaca.
Dari anak-anak yang semula hanya gedabigan saja dolan tak tentu arah berangsur berubah menjadi anak yang suka membaca. Anak-anak kampung itu mulai senang mengunjungi TBM mini yang didirikan di teras rumah seluas 4 meter x 6 meter. Tak ada niatan apapun, hanya upaya kecil Heru Kurniawan untuk menarik minat baca anak-anak di sekitar rumahnya.
Anak-anak di saat jam pulang sekolah boleh membaca-baca koleksi buku yang tersedia secara gratis. Bahkan jika belum puas, buku-buku itu diperbolehkan dibawa pulang. Saat itu, koleksi buku TBM Wadas Kelir masih minim sekitar ratusan buku. "Alhamdulilah, anak-anak menjadi mudah diatur dan lama kelamaan para orangtua menyadari potensi anak-anaknya yang terus meningkat, warga pun mulai mendukung," begitu Heru Kurniawan menceritakan kepada KOMPAS.Com yang saya kutip.
Saya pernah diminta jadi juri lomba mendongeng para guru PAUD di RKWK saat Bupati Banyumas meresmikan Wadas Kelir menjadi Kampung Literasi. Koleksi buku TBM Wadas Kelir yang dari ratusan kini sudah lebih dari 5.000. RKWK yang bermula dari hanya TBM berkembang pesat menjadi sebuah PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) yang mencakup berbagai kegiatan. TBM Wadas Kelir menjelma menjadi pusat pendidikan kreativitas gratis dan berkualitas. Menempa anak-anak menjadi pribadi yang kreatif, cerdas dan berkarakter.
Ketika saya ke RKWK belum lama ini untuk mencari data untuk tulisan ini, saya diterima oleh Mbak Fallah dan Mas Iqbal, mahasiswa STAIN yang menjadi relawan. Lokasi RKWK kini ngontrak tanah warga depan rumah Heru Kurniawan yang kemudian disulap menjadi bangunan antik dengan cat warna-warni, Ada ruang baca, halaman permainan anak, ruang belajar dan ruang untuk pentas seni.
Selain TBM RKWK memiliki beberapa kegiatan di bidang pendidikan antara lain, PAUD, Bimbel, Kejar Paket B dan C serta TPQ. Yang menarik ada rumah seni yang sering menggelar berbagai acara seni antarkomunitas seni/sastra, lalu ada Wadas Kelir Studio, sekolah literasi, unit publisher dan toko buku.
Seorang PNS, ibu empat anak yang suka membaca, bercanda Sumiarti Haryanto pernah menulis di Kompasiana tentang RKWK ini. Beberapa bulan terakhir ini saya mengikuti aktivitas sebuah tempat belajar dan bermain anak-anak di daerah Purwokerto. Tempat belajar anak-anak di sebuah teras rumah, tanpa pungutan biaya.
Rumah Kreatif Wadas Kelir namanya yang sudah melakukan banyak hal untuk anak-anak di sekitarnya. Berawal dari mimpi besar sang konseptor, pengajar sekaligus pejuang RKWK, Heru Kurniawan dan para relawan yang mengajar: sebuah perubahan telah dan sedang terjadi pada anak-anak RKWK. Anak-anak berusia TK sampai SD berjumlah sekitar 30an telah menunjukkan karya dan kreativitas yang mengagumkan. Anak-anak bermain dan belajar tentang kecerdasan Bahasa, Angka, Warna, Gerak dan Musik.
Anak-anak RKWK rata-rata berasal dari keluarga yang secara ekonomi kurang beruntung. Rata-rata orangtuanya berpendidikan SD atau SMP, bekerja sebagai buruh, pekerja toko, tukang sapu, tukang becak, dkk. Awalnya mereka tumbuh sebagai anak yang pesimis terhadap masa depan. Begitulah cuplikan tulisan Ibu Sumi tentang RKWK.