Lihat ke Halaman Asli

Saepullah

Aku adalah manusia pembelajar, berusaha belajar dan juga berbagi info yang baik untuk perbaikan diri selaku manusia. Melihat info yang kubagikan bisa melalui: https://www.ceritasae.blogspot.com https://www.kompasiana.com/saepullahabuzaza https://www.twitter.com/543full https://www.instagram.com/543full https://www.youtube.com/channel/UCQ2kugoiBozYdvxVK5-7m3w menghubungi aku bisa via email: saeitu543@yahoo.com

Istiqlal, Sebuah Film yang Ringan dengan Pesan Bonding Ayah-Anak Hingga Toleransi yang Menarik

Diperbarui: 31 Maret 2024   10:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika mendengar kata istiqlal selalu terngiang sebagai salah satu ikonik Ibukota Jakarta. Apalagi dengan kondisi bukan ramadan, di mana hampir 3000-6000 paket takjil dipersiapkan di masjid istiqlal. Akhirnya kondisi tersebut pun muncul dalam sebuah film dengan judul Istiqlal.

Film istiqlal ini bercerita tentang perjalanan seorang ayah dan anaknya dengan bersepeda motor. Sang ayah yang sepanjang film dipanggil dengan babeh, dan sang anak dipanggil dengan sebutan Sob. Sang ayah memberikan kesan arti perjalanan kepada sang anak. Sang ayah juga ingin turut ajak sang anak berkeliling Jakarta dengan sepeda motor, alih-alih bermain HP yang menghabiskan waktu.

Konflik demi konflik terurai saat perjalanan di mulai dari pinggiran Jakarta yaitu Ciputat. babeh mengenang arti kendaraan sepeda motor yang dinaikinya dengan makna ayahnya atau kakek dari Sob. Dengan pemisalan itu, film ini mengisahkan sebuah bonding menarik antara ayah dan anak. Hal ini jarang terlihat di masa kondisi saat ini. Sepertinya, Sob yang sering menggunakan HP jarang menunjukkan bonding kepada Babeh. Namun, HP yang sering dimainkan Sob justru memberikan arti pelajaran akan artinya kegunaan internet.

HP memang kerap berarti negatif jika digunakan untuk bermain. Namun, adakalanya HP bermanfaat dengan menggunakan petunjuk arah melalui aplikasi Google Maps di kala sudah tersesat. Sob yang memberikan petunjuk ayahnya untuk segera menggunakan maps, namun Babeh tetap berpegang teguh pada pendiriannya bahwa dirinya hafal kota Jakarta. Hal ini menunjukkan ayahnya yang gaptek tapi tidak ingin mendengar sang anak yang juga seharusnya bisa benar. Hal ini akhirnya juga dituruti Babeh untuk menggunakan HP untuk aplikasi Google Maps.

Bonding yang terasa mendalam yaitu di kala Sob beberapa kali menurut akan petuah sang Ayah. Sob dengan tenang dan nyaman ala anak-anak menurut segala yang dikatakan sang Ayah, meski Sob tahu ayahnya juga manusia yang juga kerap salah. Sob juga menurut ketika harus duduk di belakang dengan diikat menggunakan gesper ala betawi agar Sob tidak terjatuh di kala dibonceng menggunakan sepeda motor. Padahal, jika dilihat kondisi kekinian, anak sebesar Sob memang tidak butuh gesper terikat tersebut. Namun perumpamaan yang berarti untuk bonding Ayah-anak kian menarik.

Selain makna bonding yang melekat, film ini juga memberikan arti toleransi yang menarik. Perjalanan di mulai dengan adanya pasar takjil, di mana takjil berikan arti sebuah makna toleransi. Bahkan hingga akhirnya malam menjelang Babeh dan Sob belum sampai di Istiqlal namun sudah waktunya berbuka mereka juga menerima takjil dari nonis jemaat gereja. Takjil memang sebuah pengistilahan makna toleransi yang baik dengan kondisi Indonesia. Sikap saling santun dan menghargai dalam makna kebhinekaan.

Toleransi juga kerap ditunjukkan dengan kondisi tukang ojek yang bersatu padu. Adanya opang (ojek pangkalan) dan ojol (ojek online) yang duduk menunggu penumpang pada sebuah pos ojek secara bersamaan. Hal ini juga semakin menarik dengan ditambah adanya kesatuan adanya the-Jak (fans Sepakbola Jakarta). Adegan di mana Babeh bertanya tentang kebayoran juga berkali-kali antara salah satu opang dan ojol saling bersatu menjawab meskipun kadang salah namun tidak ada yang tersakiti meski saling melengkapi. Inilah pengejewantaahan makna toleransi yang menarik.

poster Istiqlal (dok.Kinovia Pictures)

Kondisi Jakarta yang beragam juga ditunjukkan dengan hadirnya warga Jakarta yang chindo. Chindo itu juga menunjukan dengan sikap santun dan menolong Babeh dengan memberikan petunjuk arah kepadanya. Ada lagi kisah pendatang sorang ibu-ibu yang sedang duduk memberikan petunjuk arah kepada Babeh dengan senang hati.  

Film berdurasi 15 menit-an ini memang sungguh bermakna mendalam akan arti toleransi yang sudah mulai pudar. Ditambah lagi dengan kondisi Ibukota yang kerap menuai kebhinekaan yang mendalam. Film arahan Razny Mahadhika ini akhirnya menuai banyak apresiasi dengan prestasi penghargaan film mulai dari menangnya pitching film dari dinas pariwisata Jakarta, hingga kepada penghargaan pada short movie award lainnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline