Kenangan bersama film fenomenal memang terkadang menjadi sebuah obsesi tersendiri. Betapa tidak pertama kali diajak nonton bioskop oleh orang tuaku di kala aku masih duduk di bangku SD. Menonton film di Tutur Tinular III -- Pendekar Syair Berdarah memberikan hasrat untuk bisa berkelahi dan menyelamatkan negeri ini dari kejahatan.
Film Tutur Tinular III dengan produser Hasok Soebroto ini berkisah di masa Majapahit. Film yang disutradarai oleh Sofyan Sharna ini berdurasi 79 menit. Dengan harga karcis yang tergolong masih terjangkau oleh ayahku yang berprofesi sebagai penjahit tailor. Aku menikmati film yang diperankan oleh Sandi Nayoan sebagai Kamandanu.
Film ini memang menjadi daya Tarik dan cukup laris di kala itu. Bukan saja sebagai cerita di radio namun juga sebagai film bioskop. Keunikan film ini yang kurasakan di kala itu yaitu tentang kegigihan penyelamatan Kamandanu terhadap Panji, anaknya yang diburu untuk dibunuh oleh Arya Dwipangga (diperankan oleh Baron Hermanto).
Arya Dwipangga memang ingin sekali membalas dendam kepada Kamandanu. Arya Dwipangga ingin membunuh Panji (diperankan Sawung Sembadha) untuk memperkuat ilmu Aji Segara Geni disamping juga sebagai balas dendam kepada Kamandanu. Ilmu itu bisa sempurna dimiliki jika dilakukan dengan bermandikan darah anak laki keturunan satria. Arya Dwipangga sudah membunuh 7 anak laki, dan target berikutnya yaitu Panji sebagai korban ke-8.
Namun, sayang sekali, usaha Arya Dwipangga berhasil dihalau oleh Kamandanu. Meskipun Kamandanu sempat kalah dengan Arya Dwipangga, namun film ini berakhir dengan kekalahan Arya Dwipangga yang tiba-tiba menghilang dengan sebuah pernyataan bahwa dendam dirinya masih terus berlanjut kepada Kamandanu. Sambil menikmati kisah Tutur Tinular III ini dengan kursi yang sudah empuk dan cemilan juga menghiasi betahnya aku menonton di bioskop.
Sebagai penolong Arya Dwipangga, terdapat Bajil yang sempat ditawan dan akhirnya diserahkan ke Majapahit untuk menerima hukumannya. Serunya menonton film ini yaitu menonton keseruan perkelahian dengan bunyi dentuman dan efek musik yang hingar bingar di bioskop. Musik yang tercipta adalah hasil karya dari Sherman. Meski audio masih tidak sebagus seperti saat ini, namun film ini menjadi sebuah kisah menarik untuk diceritakan saat ini. Pun, bukan hanya audio, dari sisi gambar juga jauh namun masih diriku masih bisa menyelami sedikit cerita di masa Majapahit.
Eits, saat itu kukira film yang diproduksi oleh Elang Perkasa Film tersebut benar-benar terjadi lho. Wajar saja, aku masih kecil dan tidak selayaknya sich menonton film tersebut. Mungkin, karena tayangan bioskop di kala tersebut belum terlalu kuat untuk pengawasan kepada anak-anak ya. Tapi itu adalah sebuah kenanganku menonton film Indonesia di bioskop.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H