Mungkin, sebagian orang berpendapat menjadi guru adalah sudah luar biasa. Atau bahkan prestasi yang maha dahsyat karena bukan saja mentransfer ilmu namun juga mendidik pekerti kepada peserta didik. Bener kan??
Nah, momen kemerdekaan RI yang ke-72 tahun ini, saya ingin sedikit berbagi kisah menjadi seorang guru. sebuah aktivitas kecil untuk bakti kepada negeri Indonesia. Merdeka!!!!!
Kisah ini sebenarnya prinsip utama dari hidup saya. Diawali dari pengalaman ketika kuliah yang beberapa kali mencoba mengajar di suatu bimbingan belajar untuk masyarakat secara gratis. Pengalaman ini entah kenapa, tiba-tiba menghilang ketika sudah lulus kuliah. Berdasar kepada keasyikan atau ego pribadi yang tidak berkenan di hati saya mencoba menjadi pekerja di perusahaan finance ternama di Indonesia.
Bekerja menjadi seorang karyawan sepertinya saya lalui biasa-biasa saja, hingga terbetik ketika lima bulan bekerja saya merasakan ada ganjalan di hati. Perlahan dan berjalan semakin terasa sesak di dada karena tidak sesuai dengan hati, akhirnya pada bulan ke tujuh bekerja di sana saya resign.
Berpikir cukup lama, mencari jati diri saya sebenarnya, berpikir kemana hidup saya diabdikan untuk membangun Indonesia. Saya akhirnya baru menemukan jawaban enam bulan setelah resign dari perusahaan finance tersebut. Saya memutuskan untuk menjadi guru.
Akhirnya saya terdampar di sebuah sekolah swasta di kawasan Lippo Cikarang, Bekasi. Di sekolah ini saya memulai kembali kehidupan baru menjadi seorang guru. Ternyata menjadi guru bukan sekedar mengajar saja. Melainkan banyak pekerjaan yang harus dijalankan. Mulai dari Membuat perangkat pembelajaran seperti membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Program Tahunan (PROTA), Program Semester (Prosem), Silabus, Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), Analisis indikator (KI-KD-SK), dan masih banyak lagi. Ohya, saya memang bukan dari basic pendidikan, jadi saya belajar dari awal banget nih..
Dan saya baru menyadari beban kewajiban yang teruang kepada guru, kepada saya tentunya. Berat namun tetap terpatri bahwa saya adalah guru yang harus berdedikasi kepada negeri Indonesia. Beban tersebut lebih berat dibanding saya menjadi seorang karyawan di perusahaan finance sebelumnya. Setiap malam harus memikirkan apa yang harus diajarkan ke peserta didik (siswa), dengan metode apa pengajarannya hingga kepada bagaimana pembawaan saya seharusnya di depan peserta didik. Ya,, 24 jam terasa tidak cukup untuk memikirkan anak bangsa ini. Berat, tapi tetap sekali lagi saya tetap harus baktikan diri ini untuk mendidik anak bangsa Indonesia menjadi generasi penerus yang mencintai negerinya Indonesia tercinta dengan pengabdiannya kelak.
Bukan saja hal tersebut, dedikasi saya dalam hal menjadi guru harus saya tularkan tentunya kepada guru lainnya. Diawali dengan saya yang seorang guru matematika mencoba belajar menulis. Keseringan dalam hal menulis ini saya tularkan kepada guru lain, akhirnya ada teman guru di sekolah yang tertular virus menulis dari saya. Akhirnya terlahirlah sebuah buku karya saya dan guru tersebut yang diberi judul Jayalah. Buku tersebut pula pernah menjadi naskah favorit pada even lomba yang diadakan oleh Writing Revolution. Bukan saja hal tersebut, buku Jayalah juga menjadi buku runner up penulisan naskah buku duet yang diadakan oleh komunitas Untuk Sahabat di facebook.
Dedikasi saya kepada negeri ini semakin terpatri terutama kepada dunia pendidikan juga. Pengabdian saya terpatri dari saya yang menjadi seorang finalis dalam simposium nasional 2015 yang lalu. Dari simposium nasional tersebut, semasa mendikbud Anies Baswedan, tercetus bahwa "Guru Mulia Karena Karya". Dari simposium ini saya bertemu dengan pak Anies Baswedan dan juga pak Jokowi yang memberikan petuah bahwa guru harus berkarya agar Mulia. Membekas dalam hati saya bahwa saya bukan seorang guru yang sekedar mengajar di kelas saja, namun lebih dari hal mengajar saja, saya harus menjadi guru yang luar biasa dengan menulis dan mencetak generasi berperilaku mulia tentunya.
Pembekasan saya berikutnya yaitu saya menjadi salah satu dari 20an wakil dari Indonesia untuk mengenyam pendidikan di SEAMEO QITEP in Math, yang terletak di Jogjakarta pada 2016 silam. Dari situ saya kembali terpatri untuk menjadi guru yang penuh dedikasi lagi sebagai abdi saya kepada negeri Indonesia. Di tahun yang sama, 2016 saya mendapat grant pada seminar international dengan nama International Symposium Mathematics Education and Innovation (disingkat ISMEI) yang diadakan oleh SEAMEO QITEP in Math.
Saya merasakan diri ini semakin kecil pengabdian yang telah saya berikan kepada negeri Indonesia. Namun lebih dari itu saya yang seorang guru harus tetap mengecam ilmu padi yaitu semakin merunduk semakin berisi. Saya berharap saya masih bisa berbagi kepada siapapun terkait pendidikan, menulis dan juga pengabdian kepada negeri Indonesia. Semoga sedikit pengabdian ini terus terpatri tanpa terbetik untuk sombong dari dalam diri dan hati saya. Doakan saya ya para pembaca semua. Mari bersama kita membangun Indonesia yang kita cintai supaya lebih maju lagi. Amiin.. Semoga..