Lihat ke Halaman Asli

Saepul Alam

International Geopolitics Specialist

Mengenal Justice Collabolator

Diperbarui: 9 Mei 2024   11:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Justice Collabolator (sumber gambar: iStock/Kanizphoto)

Pada era di mana inovasi terus berkembang, berbagai sektor kehidupan manusia turut terdampak, termasuk dalam ranah hukum. Salah satu konsep populer yang muncul dalam beberapa tahun terakhir adalah Justice Collaborator. Konsep ini mengusung ide kolaborasi antara sistem hukum dengan berbagai pihak dalam penegakan keadilan (saksi Pelaku yang bekerjasama dengan Aparat Penegak Hukum). Dalam artikel ini, kita akan menggali lebih dalam tentang pengertian Justice Collaborator, syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk pemberlakuan, serta dasar hukum yang mengatur.

Pengertian Justice Collabolator

Pengertian mengenai Justice Collabolator secara yuridis termaktub dalam Pasal 1 ayat 2 dari Undang-undang 31 Tahun 2014 dijelaskan bahwa saksi pelaku mengacu pada tersangka, terdakwa, dan terpidana yang berkolaborasi dengan penegak hukum untuk mengungkap tindak pidana dalam suatu kasus tertentu. Kemudian, Pasal 1 ayat 3 dari Peraturan bersama tentang perlindungan saksi dan korban menjelaskan bahwa saksi pelaku yang berkolaborasi adalah seseorang yang tidak hanya menjadi saksi tetapi juga terlibat sebagai pelaku tindak pidana. Orang tersebut bersedia membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap kebenaran tentang tindak pidana. Dalam prakteknya, pelaku memberikan informasi kepada penegak hukum dan memberikan kesaksian selama proses peradilan pidana.

Definisi Justice Collaborator menurut Council of Europe Committee of Ministers adalah mengacu pada individu yang dituduh melakukan tindak pidana atau telah dihukum karena terlibat dalam asosiasi kejahatan atau organisasi kejahatan lainnya, atau dalam pelanggaran terorganisir. Namun, individu tersebut bersedia bekerja sama dengan otoritas pengadilan pidana, terutama dengan memberikan kesaksian mengenai asosiasi kejahatan atau organisasi kejahatan dan kejahatan terorganisir yang terjadi.

Dalam substansinya Justice Collabolator menurut Council Of Europe Commite Of Ministers merujuk pada individu yang terlibat sebagai pelaku tindak pidana atau dianggap bagian dari kejahatan yang dilakukan secara kolektif atau terorganisir. Namun, individu tersebut bersedia untuk berkolaborasi dengan penegak hukum dengan memberikan kesaksian mengenai berbagai jenis tindak pidana yang terkait dengan kejahatan terorganisir atau kejahatan serius lainnya.

Adapun Pengertian Justice Collabolator menurut para ahli diantaranya:

  • Menurut Achmad Santosa, Justice Collaborator adalah seseorang yang membantu penegak hukum dengan memberikan informasi atau kesaksian yang dapat mengungkap suatu tindak pidana, di mana orang tersebut terlibat dalam pidana tersebut atau tindak pidana lainnya. Informasi yang diberikan oleh pelaku yang bekerja sama tersebut mencakup pelaku utama tindak pidana, cara kerja, dan jaringan yang terlibat dalam tindak pidana tersebut.
  • Menurut Romli Atmasasmita, Justice Collaborator adalah individu yang terlibat dalam organisasi kejahatan dan telah melakukan tindak pidana, baik secara mandiri maupun karena diminta oleh pihak hukum, dengan maksud untuk bekerja sama dengan Aparat Penegak Hukum. Kerja sama ini membantu dalam menemukan bukti-bukti dan barang bukti, sehingga penyelidikan dan penuntutan dapat berjalan dengan efektif.
  • Menurut Mardjono Reksodiputro, Justice Collaborator adalah individu yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk secara menyeluruh mengungkap kejahatan yang dituduhkan dan akan didakwa terhadapnya. Dalam konteks ini, pentingnya kejelasan mengenai keberadaan suatu kejahatan dan adanya tersangka atau pelaku tertentu ditekankan. Seseorang yang menjadi Justice Collaborator biasanya adalah tersangka atau terdakwa yang bersedia membuka rahasia atau mengungkap kasus kejahatan, bukan karena panggilan moral, tetapi dengan harapan untuk mendapatkan keringanan dalam dakwaan atau tuntutan pidananya.

Berdasarkan penjelasan yang diberikan oleh para ahli di atas, dapat di ambil kesimpulan bahwa seorang Justice Collabolator adalah saksi yang juga terlibat sebagai pelaku dalam suatu tindak pidana tertentu. Perannnya adalah membantu aparat penegak hukum, terutama Penyidik, dengan memberikan alat bukti dan keterangan saksi. Dengan informasi yang diperoleh dari kesaksian tersebut, diharapkan dapat memperoleh wawasan yang lebih mendalam mengenai pelaku utama atau actor intelektual dan jaringan kejahatan terorganisir yang menghubungkan antara pelaku dalam tindak pidana tersebut.

Syarat-Syarat Pemberlakuan Justice Collabolator

Merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2011 seorang yang ingin menjadi Justice Collabolator harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

  • Tindak pidana yang diungkap oleh Justice Collaborator harus bersifat serius, seperti korupsi, terorisme, narkotika, pencucian uang, perdagangan orang, dan jenis tindak pidana terorganisir lainnya yang berpotensi mengancam stabilitas dan keamanan masyarakat.
  • Individu tersebut harus menjadi salah satu dari mereka yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu, mengakui peranannya, tetapi tidak sebagai pelaku utama dalam kejahatan tersebut.
  • Bersedia memberikan memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses Peradilan.
  • Jaksa Penuntut Umum harus menegaskan bahwa orang tersebut memberikan informasi dan bukti yang sangat penting sehingga penyidik atau penuntut umum dapat mengungkapkan tindak pidana secara efektif, mengidentifikasi pelaku lain yang berperan besar dalam tindak pidana, dan mengembalikan aset yang berasal dari tindak pidana.

Selain berperan sebagai Justice Collabolator dalam persidangan, seorang yang sudah berstatus narapidana masih memiliki kemungkinan untuk mengajukan diri guna mengungkap kejahatan, sebagaimana di atur dalam Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 dan Peraturan Menkumham No. 3 Tahun 2018 mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi narapidana agar dapat menjadi Justice Collabolator:

  • Narapidana harus memberikan kerjasama kepada penegak hukum untuk membantu mengungkap kasus tindak pidana yang mereka lakukan.
  • Selama menjalani masa hukumannya, narapidana harus menunjukkan perilaku yang positif.
  • Dalam enam bulan terakhir, narapidana tidak diperbolehkan menjalani hukuman disiplin.
  • Narapidana harus telah mengikuti program pembinaan di lembaga pemasyarakatan dan memperoleh predikat yang baik.
  • Narapidana harus sudah menjalani masa pidana selama lebih dari enam bulan.
  • Narapidana terorisme diwajibkan menyatakan kesetiaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan memberikan pernyataan tertulis bahwa mereka tidak akan mengulangi perbuatannya.
  • Narapidana korupsi harus melunasi denda dan uang pengganti sesuai dengan keputusan Pengadilan.
  • Kesediaan untuk bekerja sama sebagai Justice Collabolator harus diuangkapkan secara tertulis dan harus disetujui instansi penegak hukum sesuai dengan aturan yang ada.

Dasar Hukum Justice Collabolator

  • Konvensi PBB No. 7 Tahun 2006

Istilah Justice Collabolator baru diperkenalkan dalam sistem Peradilan di Indonesia. Sebelumnya praktik Peradilan di atur dalam KUHAP. Penggunaan istilah Justice Collabolator diadopsi dari sistem Peradilan Pidana Internasional, salah satunya Konvensi PBB No.7 Tahun 2006. Dalam konvensi tersebut ketentuan mengenai Justice Collabolator di atur dalam ayat 2 "Mewajibkan setiap Negara peserta untuk mempertimbangkan memberikan kemungkinan keringanan hukuman dalam kasus tertentu bagi pelaku yang memberikan kerja sama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang diatur dalam konvensi ini." Kemudian, ayat 3, "Mewajibkan setiap Negara untuk mempertimbangkan kemungkinan, sesuai dengan prinsip dasar hukum nasionalnya, memberikan kekebalan dari penuntutan bagi orang yang memberikan kerja sama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu tindak pidana."

  • Konvensi PBB No. 5 Tahun 2009

UNCATOC UU No. 5 Tahun 2009 tentang konvensi PBB anti kejahatan transnasional terorganisir menetapkan kewajiban bagi setiap negara untuk berusaha membentuk peraturan Hukum Nasional yang dapat menghukum perbuatan yang terorganisir sebagaimana yang diatur dalam konvensi tersebut. Dalam konteks pengurangan hukuman bagi saksi yang bekerja sama (Justice Collabolator) sebagaimana dalam pasal 26 ayat 2 dan 3. Dalam ayat 2, "Setiap Negara diwajibkan mempertimbangkan untuk memberikan kemungkinan pengurangan hukuman kepada terdakwa yang memberikan kerja sama yang signifikan dalam penyelidikan atau penuntutan terkait tindak pidana yang termasuk dalam konvensi ini." Kemudian dalam ayat 3, "Setiap Negara diwajibkan mempertimbangkan pemberian imunitas hukum terhadap penuntutan dalam individu yang memberikan kerja sama yang signifikan dalam penyelidikan atau penuntutan terkait tindak pidana yang termasuk dalam konvensi ini."

  • Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Sebelum diberlakukannya Undang-Undang ini, status Justice Collaborator di atur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 yang memiliki banyak kekurangan terkait perlindungan saksi dan ketidakjelasan mengenai pengurangan hukuman bagi mereka. Oleh karena itu, hal ini diperbaiki dalam UU No. 31 Tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan korban. Dalam Pasal 10 a dari UU Perlindungan saksi dan korban dijelaskan sebagai saksi pelaku yang terlibat dalam memberikan penghargaan berupa perlakuan khusus dan keringanan hukuman sebagai bagian dari perlindungan hukum dan kebijakan hukum pidana terhadap Justice Collaborator untuk menangani kejahatan tindak pidana tertentu. Peran Justice Collaborator berfungsi untuk mengungkap kasus tindak pidana tertentu yang terorganisir dengan bekerja sama dengan pelaku tindak pidana untuk memberikan keterangan dan kesaksian yang dapat mengungkap kejahatan tindak pidana yang lebih besar.

  • Surat Edaran Mahkmah Agung No. 4 Tahun 2011

Justice Collaborator yang dijelaskan dalam SEMA No. 4 Tahun 2011 diatur dalam poin 9 yang memberikan pedoman mengenai kriteria atau syarat untuk dianggap sebagai Justice Collaborator. Meskipun SEMA No. 4 Tahun 2011 tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan bukan merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan, namun berfungsi sebagai panduan bagi pihak Penegak Hukum dalam menentukan atau mengidentifikasi persyaratan seseorang sebagai Justice Collaborator.

  • Peraturan bersama Aparat Penegak Hukum dan LPSK tentang Perlindungan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.

Regulasi terkait dengan Justice Collaborator dalam peraturan bersama ini memiliki kesamaan dengan SEMA No. 4 Tahun 2011. Dalam peraturan bersama ini, istilah Justice Collaborator dijelaskan dalam Pasal 1 angka 3 yang memberikan definisi atau penjelasan tentang pelaku yang berkolaborasi (Justice Collaborator). Peraturan bersama ini juga tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan, fungsinya hanya sebagai pengaturan dan pedoman khusus terutama dalam hal mengenai istilah baru, yaitu Justice Collaborator.

Secara keseluruhan, peraturan mengenai Justice Collabolator baru di atur secara menyeluruh dalam Undang-undang No. 31 Tahun 2014 termasuk dalam hal perlindungannya. Dalam SEMA No. 4 Tahun 2011 pada dasarnya hanya bertujuan memberikan panduan kepada Hakim dibawah Mahkamah Agung mengenai penanganan dan pendekatan terhadap Justice Collabolator selama persidangan. Pentingnya peran Justice Collabolator dalam melengkapi sistem peradilan pidana juga diperkuat dengan peraturan bersama antara Aparat Penegak Hukum dan LPSK, yang pada intinya bertujuan untuk mewujudkan kerja sama dan sinergi diantara aparat penegak hukum dalam penanganan tindak pidana terorganisir.

Justice Collaborator merupakan konsep yang muncul sebagai upaya untuk meningkatkan efektivitas sistem peradilan dan mempercepat proses penegakan hukum melalui kerjasama antara pihak yang terlibat dalam suatu kasus hukum. Meskipun memiliki potensi untuk memberikan manfaat yang signifikan, pemberlakuan Justice Collaborator juga menimbulkan sejumlah pertanyaan dan tantangan terkait dengan keadilan, integritas, dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, implementasi konsep ini harus dilakukan dengan hati-hati dan dengan memperhatikan prinsip-prinsip hukum yang berlaku serta perlindungan terhadap semua pihak yang terlibat.

Referensi

Recommendation Rec(2005)9 of the Committee of Ministers, to member states on the protection of witnesses and collaborators of justice, Adopted by the Committee of Ministers on 20 April 2005 at the 924th meeting of the Ministers' Deputies, h. 7

Achmad Santosa, Perlindungan terhadap Pelaku yang Bekerjasama (justice collaborator), makalah disampaikan pada international workshop on the protection of whistleblower as justice collaborator, Jakarta, 2011.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline