Pengaturan sumpah dan keterangan palsu adalah masalah hukum yang penting di Indonesia dan Amerika Serikat. Meskipun ada perbedaan dalam cara kedua negara mengatasi masalah ini, tujuan akhirnya adalah untuk menjaga integritas sistem peradilan dan kejujuran dalam memberikan keterangan.
Di Indonesia, pengaturan sumpah diatur dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Seseorang yang memberikan sumpah palsu dapat dikenai hukuman penjara maksimal 6 tahun. Selain itu, saksi yang memberikan keterangan palsu juga dapat dihukum dengan penjara maksimal 5 tahun dan denda. Tujuan hukuman ini adalah untuk mencegah orang-orang memberikan keterangan palsu yang dapat merusak keadilan.
Di Amerika Serikat, pengaturan sumpah dan keterangan palsu diatur berdasarkan hukum federal dan hukum negara bagian. Hukuman untuk memberikan keterangan palsu dapat bervariasi tergantung pada tingkat pelanggaran hukum dan yurisdiksi. Di beberapa negara bagian, memberikan keterangan palsu dalam sidang pengadilan dapat dianggap sebagai kejahatan serius yang dapat dihukum dengan penjara bertahun-tahun.
Namun, ada perbedaan dalam pendekatan kedua negara dalam mengatasi masalah ini. Di Indonesia, sistem peradilan lebih berfokus pada memperoleh kebenaran dan menegakkan keadilan. Oleh karena itu, saksi dan pihak yang memberikan sumpah harus memberikan keterangan yang sebenar-benarnya. Di Amerika Serikat, sistem peradilan lebih berfokus pada proses hukum yang adil, yang memungkinkan pihak yang bersangkutan untuk membela diri dan mengajukan bukti yang mendukung klaim mereka.
Selain itu, perbedaan lainnya adalah dalam hal bukti yang diperlukan untuk membuktikan keterangan palsu. Di Indonesia, seseorang dapat dinyatakan bersalah memberikan keterangan palsu jika ada bukti yang cukup untuk mendukung tuduhan tersebut. Di Amerika Serikat, pihak yang menuduh harus membuktikan bahwa saksi atau pihak yang memberikan keterangan palsu dengan sengaja membuat pernyataan palsu dengan niat untuk menyesatkan pengadilan.
Contoh kasus di Indonesia
Dalam contoh kasus ini, terdakwa memberikan keterangan sebagai saksi dalam sidang pidana secara daring menggunakan aplikasi Zoom. Sidang berlangsung di ruang sidang daring Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan yang terhubung dengan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang terbuka untuk umum. Sebelum memberikan keterangan, terdakwa diambil sumpahnya oleh majelis hakim.
Pada proses pemeriksaan saksi, pertanyaan dari Majelis Hakim dan Jaksa Penuntut Umum berkisar pada peristiwa penganiayaan yang terdakwa alami sebagai korban oleh AW, sesuai dengan surat dakwaan. Pada akhir pemeriksaan saksi, terdakwa menyatakan bahwa dalang pemukulan terhadapnya adalah NM, yang ternyata bertentangan dengan fakta bahwa saksi NM tidak pernah terlibat dalam pemukulan dan sudah dibuktikan di pengadilan.
Namun, setelah itu, ditemukan video berdurasi 44 detik yang dijadikan alat bukti oleh penyidik. Terdakwa membantah pernyataannya yang menyebut NM sebagai dalang pemukulan, mengklaim bahwa ia hanya menduga ada dalangnya saat persidangan. Terdakwa tetap pada bantahannya meskipun saksi bersikeras pada kesaksiannya.
Penting dicatat bahwa keterangan dari saksi tidak selalu akurat, dan beberapa mungkin menambahkan unsur kebohongan atau memberikan keterangan palsu. Ironisnya, kesaksian yang diberikan adalah pernyataan di bawah sumpah, yang berarti saksi bersedia berbohong meskipun telah bersumpah. Pada kasus seperti ini, pemberian keterangan palsu di bawah sumpah dapat dikenai hukuman sesuai dengan Pasal 242 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal tersebut memberikan hukuman penjara maksimal tujuh tahun untuk pelaku yang dengan sengaja memberikan keterangan palsu di bawah sumpah, dan jika perbuatannya merugikan terdakwa atau tersangka dalam perkara pidana, hukumannya dapat mencapai sembilan tahun penjara.