Ini adalah tulisanku selanjutnya yang menceritakan tentang pengalamanku ber "Solo-Traveling" ke Jogja. Setelah sebelumnya aku cerita tentang cara aku pergi kesana, kini aku akan bercerita tentang hari pertamaku berwisata di Tamansari Water Castle yang memang menjadi destinasi pertama yang aku kunjungi setibanya aku di Jogja.
Mengawali pagi hariku dari terminal Jombor, aku menunggu TransJogja yang beroperasi mulai jam 6 pagi dan melanjutkan perjalananku dari terminal langsung ke hotel yang berada di jalan Malioboro. Setibanya di hotel, akupun langsung menitipkan backpack dan menyempatkan untuk sarapan terlebih dahulu yang kemudian memesan ojek online untuk melanjutkan perjalanan pagi ini ke Tamansari yang hanya berjarak 7 menit.
Tamansari Water Castle sendiri merupakan situs taman kerajaan yang bersejarah dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang juga berfungsi menjadi benteng pertahanan terakhir jika istana di serang oleh musuh, ini dapat dilihat dari arsitektur bangunan yang memang dibuat khusus, seperti dinding/tembok keliling yang dibuat setebal 2 meter. Selain fungsi pertahanan, bangunan ini juga memiliki fungsi religius dimana terdapat bangunan Sumur Gumuling yang merupakan masjid tempat Sultan beribadah dan Pulo Panembang yang digunakan oleh sultan untuk bermeditasi. Tamansari memiliki luas lebih dari 10 hektar dan dibangun pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1758 Masehi. Arsiteknya dikerjakan oleh seseorang berkebangsaan portugis yang dikenal sebagai Demang Tegis.
Tempat ini dibuka untuk wisatawan mulai pukul 09.00 pagi dengan harga tiket masuk sebesar 5.000 rupiah. Akupun langsung bergegas untuk membeli tiket dan masuk ke area bangunannya kemudian melihat-lihat sembari mengabadikan momen, karena memang ini adalah pertama kalinya aku berkunjung dan langsung membuatku berdecak kagum. Saat aku asyik berkeliling, tiba-tiba ada pemandu wisata menghampiriku dan menawarkan untuk menemani perjalananku berkeliling yang katanya akan menghabiskan waktu sekitar satu jam. Tanpa ragu, akupun meng-iyakannya, lalu kamipun mulai mengobrol sembari berjalan menyusuri bangunan bersejarah ini.
Pemandu wisata yang aku lupa namanya ini, mulai menceritakan tentang kisah dibentuknya bangunan ini dan filosofi-filosofi yang ditanamkan oleh sultan melalui arsitektur bangunannya untuk mengajari tentang tatacara dan seni dalam berkehidupan. Yang membuatku kaget adalah cara penyampaian cerita yang begitu asyik membuatku sangat bergairah untuk mengikutinya. Satu lagi yang membuat pemandu wisata ini menjadi sangat istimewa adalah teknik pengambilan foto yang ia pelajari untuk memotret setiap orang yang ia pandu, benar-benar handal. Hingga akhirnya akupun mendapatkan foto-foto yang ciamik dari tangan beliau. Untuk aku yang melakukan solo traveling, tentu beliau sangat membantu. Pertemuan yang sederhana ini membuat aku benar-benar menikmatinya.
Ternyata benar, kami asyik berkeliling dan menghabiskan waktu sekitar satu jam. Seperti tidak terasa namun kami telah sampai pada gerbang yang menandai telah berakhirnya perjalanan sejarah ini. Akupun bergegas mengambil dompet dan memberikan uang tip untuk beliau, perjalanan pun kami akhiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H