Lihat ke Halaman Asli

Dalang Dibalik Kasus Tawuran Antar Siswa Sekolah Dasar

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13786178911687523776

Tawuran di kalangan pelajar semakin lama menjadi sebuah warisan turun menurun yang terus dilestarikan bahkan semakin banyak terjadi disetiap wilayah indonesia. Saat ini pun tidak hanya orang dewasa yang melakukan kekerasan semacam ini, tetapi tawuran sudah masuk kedalam lingkungan SD (Sekolah Dasar). Cara tawuran anak-anak dibawah umur ini sudah mirip dengan tawuran yang dilakukan oleh orang dewasa. Kasus tawuran antar pelajar SD memang masih sedikit terjadi, tetapi dengan adanya berita kasus tawuran sudah bisa kita ramalkan apa yang akan terjadi pada anak-anak tersebut di masa depannya. Padahal anak SD rata-rata berumur 7 sampai 12 tahun, masa-masa itu masih masanya bermain dengan temannya.

Pada tanggal 20 Maret 2012 terjadi tawuran antar siswa SD di Palu. Puluhan anak SD Negeri 10 Palu dengan SD Muhammadiyah Palu tawuran Mereka tampil layaknya geng remaja dengan memasang aksesoris berupa anting-anting yang menempel di telinga. Kedua pihak siswa tersebut saling pukul dengan kayu dan bambu. Bentrokan tidak hanya melibatkan siswa laki-laki namun juga siswa perempuan. Diduga pemicu bentrokan gara-gara main futsal antara kedua sekolah tersebut. Karena tidak menerima kekalahan, salah seorang murid dari SDN 10 melempar siswa dari SDN Muhammadiyah. SDN Muhammadiyah kemudian mengejar siswa dari SDN 10. Masalah ini ternyata berlanjut. Anak-anak tersebut bubar saat wartawan berdatangan mengambil gambar karena disangka polisi.

Kemudian di tahun yang sama, tawuran antar SD juga terjadi di Jakarta, tepatnya di Pintu Air Kemayoran Jakarta. 15 pelajar sekolah dasar (SD) tertangkap saat tawuran dan kelima siswa diantaranya merupakan siswa kelas 6 di SDN 12 Serdang. Para siswa ini terlibat tawuran dengan pelajar SDN 07 Serdang, yang sebenarnya berada satu komplek. Penyebabnya, lantaran siswa SDN 12 dilempari batu saat pulang sekolah menuju rumah mereka. Kedua sekolah dasar ini tawuran dengan saling melempar batu dan memukul dengan kayu. Tapi tawuran tak berlangsung lama, karena guru dan warga lekas mengejar mereka dan menangkapnya, kemudian dibawa ke Koramil. Kelimabelas pelajar itu, menangis begitu aparat Koramil berseragam loreng membentak-bentak mereka.

Tawuran antar SD di Palu dan SD di Jakarta dilakukan secara massal. Tawuran biasanya dipicu karena salah persepsi, saling ejek, tidak terima karena kalah dalam suatu perlombaan. Jika dilihat dari teori Sigmund Freud, tawuran terjadi karena dominannya Id dalam struktur kepribadian dan melupakan super ego yang merupakan moral dari kepribadian. Walaupun pengertian ego yang kompleks baru sebagian terbentuk di masa SD ini, tetapi semakin lama struktur superego itu akan terbentuk secara sendirinya. Akan tetapi anak harus selalu dibimbing oleh orang-orang yang pada masa itu adalah orangtua dan guru untuk terus menjelaskan pada anak mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang melanggar aturan dan mana yang boleh dilakukan, bimbingan semacam itu untuk mengkomplekskan superego yang dalam artian-artian peraturan dan norma agar terbiasa sampai anak dewasa.

Berdasarkan teori FIRO (Fundamental Interpersonal Relations Orientations) oleh Schuax (1958), ketika seorang anak kekurangan pemuasan kebutuhan-kebutuhannya, maka ia akan mengembangkan pola perilaku tertentu untuk menyesuaikan diri dengan kekurangan-kekurangan tersebut. Pola tersebut akan menetap sampai dewasa. Ada tiga macam kebutuhan antarpribadi, yaitu:

1.Inklusi

Inklusi adalah rasa saling memiliki dalam suatu situasi kelompok. Kecemasan anak ketika anak merasa tidak berguna atau merasa tidak ada sama sekali. Hubungan orangtua-anak yang negatif adalah jika anak jarang kontak dengan orangtua atau jarang berkomunikasi dengan orangtua. Hal ini akan menyebabkan anak jauh dari bimbingan orangtua. Berdasar tipe-tipe inklusi, pelaku tawuran bisa dikategorikan dalam perilaku kurang sosial, karena perilaku ini disebabkan oleh kekurangan inklusi. Misalnya anak sering diacuhkan oleh keluarga semasa kecil. Tipe kedua yang bisa juga menyebabkan tawuran adalah perilaku terlalu sosial. Contoh dari perilaku ini adalah munculnya sikap ingin menang sendiri pada anak. Seperti dalam contoh di atas pada tawuran antar siswa di Palu yang disebabkan karena kekalahan salah satu kelompok.

2.Kontrol

Berdasarkan kebutuhan kontrol, anak bisa merasa cemas jika ia tidak tahu apa yang diharapkan darinya, karena dia merupakan seorang anak yang tidak mampu menangani persoalansendiri. Anak yang kekurangan dalam kebutuhan kontrol akan sulit mengikuti peraturan. Peraturan disekolah yang tidak memperbolehkan mereka berkelahi akan mereka langgar dan akhirnya dengan mudah mendorong mereka berkelahi dan tawuran. Tipe-tipe dari perilaku kontrol yang memungkinkan anak melakukan tawuran adalah perilaku abdikrat dan perilaku otokrat. Perilaku abdikrat yaitu ketika anak merasa dirinya tidak mampu membuat sebuah keputusan. Jadi anak akan lebih suka dipimpin daripada memimpin. Di tipe ini anak mudah dipengaruhi oleh teman-temannnya jika dia di ajak membantu tawuran. Yang kedua adalah perilaku oktokrat. Perilaku ini kebalikan dari sebelumnya, anak memiliki kecenderungan untuk mendominasi oranglain. Pola asuh dari anak tipe ini biasanya orangtua sering memanjakan dan memenuhi segala keinginan anaknya. Jadi anak akan selalu merasa ingin menang dan ingin pendapatnya selalu dituruti oleh oranglain yang dia samakan dengan orangtuanya.

3.Afeksi

Tingkah laku afeksi merupakan hubungan antara dua orang dan saling melibatkan diri secara emosional. Tingkah laku afeksi yang negatif yang merupakan tingkah laku yang dimiliki oleh masing-masing pelaku tawuran adalah kebencian, dingin/tidak akrab, tidak menyukai, mengambil jarak emosional. Di masing-masing kelompok tawuran pasti karena sebagian ada yang masuk dalam tipe afeksi yang terlalu pribadi. Anak ini menginginkan hubungan emosional yang erat, maka jika temannya ada yang tidak setia kawan dia akan marah. Anak di tipe ini akan membicarakan rasa kesetiakawanan temannya dalam membela kelompok dalam tawuran.

Sikap anak didik bisa sangat dipengaruhi dari lingkungan sekolah dan lingkungan teman-teman. Sekolah yang pengajarannya berkualitas, dapat membuat siswanya tidak ada pikiran untuk mencari masalah. Ini seharusnya menjadi pelajaran bagi pihak sekolah yang siswanya terlibat tawurann untuk memperbaiki lembaga sekolah. Berkelompok yang terlalu nge geng dan lingkungan yang kumuh juga faktor pendukungnya. Orangtua juga pihak yang paling berperngaruh dalam sikap anaknya.. Pemenuhan kebutuhan yang berlebihan dan kekurangan akan membuat anak memiliki kecenderungan yang sulit diterima secara sosial. Mereka bisa menjadi individu yang agresif, tidak memperdulikan norma dan aturan, dan merasa bebas dalam melakukan segala sesuatu. Kejadian-kejadian ini sudah harus dilakukan pencegahan karena ini merupakan hal yang harus dibenahi bagi kelangsungan anak bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline