Lihat ke Halaman Asli

Saeful Ihsan

Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Toko Buku yang Menjelang Mati

Diperbarui: 3 April 2023   11:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber foto: okezone.com


/I/

Waktu itu saya hampir tidak percaya kalau ada toko buku di dekat pantai. Toko buku, ya, umumnya ada di kompleks pertokoan, atau kalau tidak di pasar-pasar, atau di persimpangan-persimpangan kota.

Ternyata benar, dan lagipula toko buku itu menjual buku-buku yang umumnya sulit dijumpai di toko buku-toko buku besar di kota ini: buku-buku pergerakan garis kiri dan kanan. Di sana tidak hanya menyimpan kitab imam-imam mazhab dan hadis, tetapi juga buku-buku esai semacam Ahmad Wahib dan Soe Hok Gie, juga novel-novel Rusia semisal karangan Leo Tolstoy dan Maxim Gorky. Karya-karya Albert Camus, Franz Kafka, Simon de Beauvoir, Ernest Hemingway, hingga Mohammed Arkoun juga ada di sana.

Padahal, toko buku yang saya maksudkan itu tidaklah menyerupai toko buku pada umumnya; sayangnya tak ada istilah "Kios Buku" yang bisa saya pakai untuk menggambarkannya. Bukan bangunan dinding tembok, ia hanya terdiri dari lembaran-lembaran papan yang dirangkai rapi.

Pemiliknya seorang anggota ASN, saban senin hingga jumat memakai baju dinas dari pukul delapan pagi hingga pukul enam belas sore. Hari sabtu dan minggu, eh sorry, maksudnya, ahad, ia berkantor di toko bukunya. Penampilannya Islami, saya tak usah sebutkan secara detail. Jelasnya anda bisa bayangkan bagaimana seorang muslim yang taat, rapi, bersih, dan ramah.

Namun saya cukup heran dibuatnya, tampilan seperti itu tetapi menyediakan bacaan yang saya yakin itu mustahil dibaca oleh orang-orang yang penampilannya sama macam dia.

Ia tak menggunakan nama semisal: Jendela Ilmu, Kunci Ilmu, Kunci Pustaka, Pustaka Kunci, atau nama-nama lain sebagai nama toko bukunya. Di plang hanya tertulis "Toko Buku".

Toko Buku? Ia berkata memang hanya "Toko Buku" nama toko bukunya.

Demikianlah, "Toko Buku" adalah toko buku yang selalu saya tongkrongin tiap awal bulan. Pas gaji masih lagi panas-panasnya. Koleksi awal saya adalah "Membongkar Wacana Hegemonik: dalam Islam dan Post Modernisme", berisi pikiran-pikiran Mohamed Arkoun, dieditori oleh Dr. Hasyim Shalih dan diberi pengantar edisi bahasa Indonesia oleh Prof. Amin Abdullah.

Koleksi terakhir saya yang berasal dari toko itu adalah "Hadji Murad" karya Leo Tolstoy. Tapi percayalah, koleksi terfavorit saya adalah "Kitab Lupa dan Gelak Tawa" (ed. Bahasa Indonesia) karya Milan Kundera.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline