BAB II
PEMBAHASAN
Pendidikan dan Latihan Calon Konselor
A.Pendidikan Calon Konselor
Kualitas konselor adalah semua kriteria keunggulan termasuk pribadi, pengetahuan, wawasan, keterampilan dan nilai-nilai yang dimilikinya yang akan memudahkannya dalam menjalankan proses konseling sehingga mencapai tujuan yang efektif.
Sebagai pendidik, konselor dipersyaratkan memiliki kualifikasi akademik minimum S1, sebagaimana halnya pengampu layanan ahli di bidang lain seperti dokter. Konselor juga dipersyaratkan memiliki kualifikasi akademik S1, yang mencerminkan penguasaan kemampuan akademik di bidang bimbingan dan konseling. Untuk keperluan ini diselenggarakan program S1 Bimbingan dan Konseling dengan tujuan memfasilitasi pembentukan kompetensi akademik calon konselor, yang direpresentasikan dengan Ijazah sarjana pendidikan dengan kekhususan dalam bidang bimbingan dan konseling.
Secara umum untuk Indonesia lulusan bimbingan dan konseling tingkat D3 dan S1 masih diperbolehkan untuk menjadi pembimbing. Hanya kualifikasi profesional tersebut belum begitu jelas. Mungkin S1 bisa diorbitkan menjadi tenaga profesional asalkan bobot latihan profesional ditingkatkan, baik selama pendidikan maupun dalam bentuk in-service training dan harus sudah ada tim penilai khusus dari ikatan pembimbing seperti ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia).
Kriteria utama tetap bahwa konselor harus lulusan S2 dengan berpengalaman mengajar (sertifikat) dan pengalaman praktik (sertifikat). Untuk menghadapi perubahan-perubahan yang cepat tadi, bentuk pelatihan konselor untuk menjadi profesional, disesuaikan dengan keadaan.
B.Latihan Calon Konselor
Sofyan S. Willis (2004: 87) menyatakan beberapa latihan khusus untuk membentuk kepribadian konselor. Yaitu melatihkan sifat-sifat (atribut) konselor yang dibutuhkan klien agar dalam hubungan konseling, konselor menjadi efektif untuk mencapai tujuan konseling.
1.Latihan Empati
Di dalam empati, seorang konselor harus dapat merasakan apa yang dirasakan oleh klien. Untuk mencapai tujuan tersebut, latihan empati merupakan latihan terpenting untuk membina kepribadian konselor agar mampu berkomunikasi dengan klien dan dapat merasakan apa yang dirasakan klien. Konselor harus dapat merasakan apa yang dirasakan, dipikirkan, dan dialami klien.
Untuk dapat merasakan apa yang dirasakan, dipikirkan, dan dialami klien, seorang konselor haruslah berusaha:
a.Melihat kerangka rujukan dunia-dalam klien (internal frame of reference) atau kehidupan internal klien.
b.Menempatkan diri ke dalam kerangka persepsi internal klien.
c.Merasakan apa yang dirasakan klien.
d.Berpikir bersama klien, bukan berpikir tentang atau untuk klien.
e.Menjadi kaca emosional/cermin perasaan klien (emotional mirror).
Keberhasilan empati adalah jika klien dapat memahami empati konselor, sehingga dia percaya diri untuk mengembangkan diri dan memecahkan masalahnya.
2.Kehangatan (Warmth)
Kehangatan (warmth) adalah suatu kedekatan psikologis antar pribadi yang ditandai oleh perilaku: (1) perasaan bersahabat penuh perhatian; (2) baik budi, ramah, mudah senyum, dan kontak mata; (3) menerima tanpa syarat.
Di dalam kehangatan itu ada suatu sikap konselor yang menjadi landasan perilaku yaitu: caring memancarkan perilaku peduli terhadap kesejahteraan klien, bersikap jujur/asli, dan mempunyai rasa kasih sayang.
3.Penghargaan Positif dan Respek
Yang dimaksud dengan penghargaan dan menghormati (respect) adalah bahwa konselor menghargai apa saja yang bernilai pada diri klien. Penghargaan adalah tanpa syarat (unconditional positive regard) dan tanpa menilai klien (nonjudgmental). Konselor menghargai kebebasan klien untuk menjadi dirinya sendiri.
Penghargaan positif (positive regard) dalam beberapa hal fasilitatif, dan juga mengandung apresiasi terhadap klien sebagai pribadi yang unik dan berguna. Namun harus diingat oleh konselor bahwa untuk mengembangkan apresiasi (penghargaan), konselor harus memikirkan kelemahan-kelemahan pribadinya yang mungkin membatasi perasaan menyenangi klien. Disamping itu juga harus diperhatikan kekuatan-kekuatan konselor yang dapat mengembangkan apresiasi terhadap klien.
Penghargaan dan kehangatan sebaiknya dikemukakan dengan lisan dan bahasa badan yang sesuai seperti air muka, senyum, dan kontak mata. Menggunakan kalimat-kalimat penghargaan dan hormat, harus dengan nurturance (dari lubuk hati) misalnya cara mengungkapkan kasih sayang (affectional nurturance). Akan tetapi jika dikemukakan tanpa saat yang tepat, maka pengaruhnya akan hilang.
4.Konkrit dan Spesifik
Agar komunikasi klien akurat dan jelas, dia harus berusaha agar spesifik dan tidak kabur. Karena itu konselor harus berusaha:
a.Mengkonfrontasi klien yang tidak konsisten dan konfrontasi berhubungan dengan rasa tak mengenakan klien. Rasa tak mengenakan sering diucapkan klien secara samar-samar.
b.Agar klien mengemukakan perasaannya sekarang dengan pernyataan konkrit.
c.Konselor berusaha memfokuskan masalah klien dari hal-hal umum ke spesifik.
5.Self-Disclosure (Keterbukaan Diri)
Self-disclosure merupakan pikiran, ide, dan perasaan yang terjadi setelah kesadaran anda tentang hal-hal tersebut terjadi. Self-disclosure disebut juga self-expression adalah cara yang penting umtuk membiarkan klien mengetahui bahwa anda adalah manusia dan bukan sekedar peran (konselor). Walaupun demikian self-disclosure hendaklah dipakai bukan saja dalam reaksi konseling akan tetapi juga dalam relasi dengan orang lain.
Ada beberapa jenis self-disclosure yaitu:
a.Masalah-masalah pribadi konselor.
b.Fakta-fakta tentang peran konselor.
c.Reaksi-reaksi konselor terhadap klien (feedback).
d.Reaksi-reaksi konselor terhadap relasi konselor-klien.
Pada awal konseling tujuan utama konselor adalah klien terbuka (disclosed) dalam arti perasaan dan pikiran-pikirannya. Untuk mencapai hal ini ditentukan oleh keterbukaan konselor. Pada prinsipnya keterbukaan konselor adalah kemauan untuk menyatakan pandangan-pandangannya secara jujur terhadap klien. Keterbukaan dan kejujuran konselor itu sering dinamakan self-revelation yang ampuh membentuk suatu relasi yang konstuktif (constructive relationship). Akan tetapi terlalu banyak self-revelation menyebabkan klien bingung, sebab mana yang konselor dan mana yang klien menjadi rancu. Roger dalam Sofyan S. Willis (2004: 93) berpendapat bahwa “keaslian/kejujuran adalah genuineness yang mencerminkan kata-kata kongruen dengan perbuatan.” Kata lain adalah otentik, yang artinya asli juga.
Konselor yang efektif adalah yang terbuka, asli, jujur, dan otentik ialah yang mempunyai perilaku komunikasi sebagai berikut: (1) mau mendengarkan; (2) mencoba memahami perasaan, pemikiran, atau ide-ide klien sehingga klien dapat berespon dengan perasaan tapat dan otentik.
6.Mengendalikan Kecemasan
a.Mengatasi Kecemasan dengan Rencana
Seorang konselor harus berusaha agar masalah-masalah pribadi segera diatasi misalnya kecemasan. Kecemasan bersumber dari perasaan karena adanya tekanan terhadap diri yang melebihi kewajaran. Kecemasan seperti itu adalah wajar karena ada sebab-sebab yang jelas. Kecemasan yang tidak jelas sebab-sebabnya merupakan kecemasan neurotic karena gangguan kejiwaan.
Pada umumnya kecemasan pribadi konselor adalah kecemasan biasa. Usaha mengatasinya adalah:
1)Konselor berkonsentrasi, merenungkan dan memahami kecemasannya secara realistik. Khusus bagi Muslim dapat dilakukan setelah Sholat.
2)Selanjutnya dipilah-pilah sebab-sebab kecemasan. Karena sulit secara abstrak, dapat dituliskan sebab-sebab kecemasan itu.
3)Ditentukan penyebab yang terberat hingga yang teringan.
4)Dibuat beberapa alternatif pemecahan masalah itu.
b.Metode Desensitisasi
Desensitisasi adalah suatu metode untuk mengurangi respons emosional yang menakutkan atau tidak menyenangkan melalui aktivitas-aktivitas yang bertentangan dengan respon yang menakutkan itu.
Usaha mengurangi kecemasan dan ketegangan dengan teknik desensitisasi berasal dari aliran konseling behavioral. Menurut aliran ini suatu kecemasan diperoleh seseorang melalui belajar dalam kondisi tertentu. Karena itu untuk mengurangi atau menurunkan kecemasan harus melalui usaha yang dikondisikan pula sehingga kecemasan itu berakhir. Cara menghilangkan ketegangan atau kecemasan dilakukan dengan usaha-usaha yang sistematik, itulah sebabnya teknik ini dinamakan systematic desensitization.
c.Memperbaiki Kondisi
Banyak ahli kesehatan menyarankan agar depresi dan kecemasan diatasi melalui perbaikan kondisi tubuh.
1)Olahraga yang teratur terutama lari atau jalan cepat.
2)Memperbaiki nutrisi.
3)Pikirkan jalan keluar masalah.
4)Bersikap sosial dan memperbanyak relasi sosial.
5)Periksakan fungsi thyroid anda.
6)Periksa obat-obat yang anda makan.
d.Kecocokan Emosional (Emotional Congruence)
Emotional congruence adalah kecocokan emosional konselor dengan penampilannya, dan kecocokan emosi dalam melakukan empati terhadap klien. Kecocokan emosional dengan perilaku konselor memberikan bukti kepada klien bahwa konselor cukup terbuka. Sedangkan kecocokan emosional konselor dalam empati mendorong klien untuk menjadi terbuka. Jika konselor telah terbuka dan empati maka klien akan segera terbuka pula (self-disclosure).
Konselor yang berpura-pura biasanya tidak sesuai antara mimik muka dengan ucapan, atau tidak sesuai antara nada suara dengan kata-katanya. Secara umum akan terjadi kekakuan atau over-acting. Kekakuan disebabkan gejolak emosi yang ditahan sambil menjaga penampilan agar stabil.
e.Kontrol Emosi
Mengontrol emosi berdasarkan kesadaran diri bertujuan agar konselor tetap tenang, stabil, dan terarah. Hal ini perlu karena kebanyakan konselor terpengaruh oleh faktor subjektifitas dirinya sehingga mempengaruhi hubungan konseling, sehingga konselor tidak bisa mendengarkan.
Dalam kontrol emosional beberapa hal perlu dilatihkan kepada calon konselor, yaitu:
1)Mengamati perilaku, emosi, ucapan-ucapan, diri sendiri.
2)Menahan diri dari marah, jengkel, sombong, dengan mengontrol melalui mimik muka dan bahasa tubuh lainnya.
3)Membuka diri terhadap kritik orang lain termasuk klien.
4)Menilai diri dan menerima penilaian orang lain.
7.Aspek Intelektual
Pada prinsipnya proses konseling memerlukan keterampilan intelektual yang tinggi pada konselornya. Berikut ini beberapa latihan intelektual yang dianggap penting, yaitu:
a.Latihan Intuisi
Intuisi adalah semacam kecerdasan untuk segera dan reflektif mengambil informasi yang ada dalam perilaku nonverbal (gerak, isyarat, wajah, getaran suara) dan verbal (kata, ucapan) orang lain terutama klien. Konselor yang intuitif segera menangkap makna yang terkandung dalam perilaku verbal dan nonverbal.
Untuk mencapai tahap kekuatan intuisi, seorang konselor hendaknya memiliki pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan melalui latihan.
b.Latihan Kemampuan Dramatik (Sense of Drama)
Kemampuan dramatik adalah dapat memerankan sesuatu peran tertentu dengan mengungkapkan gaya bicara, emosional, dan gerak nonverbal sesuai dengan tuntutan skenario. Jadi mirip seorang pemain drama.
Penghayatan terhadap peran yang dimainkan, berdampak terhadap calon konselor: (1) akan membuat kepekaan terhadap berbagai perilaku kliennya terutama nonverbal; (2) sebagai wahana penyaluran perasaan dan ide sehingga membantu konselor untuk menjadi asli dan jujur (genuine), dan terbuka (self-disclosure).
c.Kemampuan Humor
Humor merupakan kondisi yang bertingkat-tingkat yaitu rendah hingga tinggi. Dengan humor orang lain akan geli, tertawa, dan gembira. Hal ini akan berdampak positif yakni dapat mengurangi ketegangan dan kecemasan. Namun ada beberapa persyaratan humor yang baik, yaitu:
1)Melakukan humor dalam situasi yang tepat.
2)Objek humor disesuaikan dengan situasi lingkungan.
3)Tidak boleh lama-lama, sesuai dengan kondisi klien.
4)Adakan diskusi dan evaluasi bersama pelatih dan pengamat.
d.Latihan Sikap Fleksibel
Kemampuan fleksibel amat diperlukan bagi para konselor. Yang termasuk ke dalam sikap fleksibel adalah:
1)Menahan emosi saat klien mengemukakan sikap, emosi, dan pikirannya, dan selalu berpenampilan attending (ramah, mendengarkan, perhatian).
2)Memberi suasana kondusif agar klien bebas menyatakan perasaan, pengalaman, dan pikirannya.
3)Mengemukakan persetujuan terhadap ide klien yang bagus, dan mendiskusikan ide yang kurang baik.
4)Mengembangkan ide klien yang baik bersama klien agar dia menemukan dirinya dan mampu memecahkan masalahnya.
8.Pola Komunikasi Konselor
Dasar bagi semua pendekatan konseling adalah komunikasi antara konselor dan klien. Komunikasi terjadi secara verbal, nonverbal, dan dengan bahasa badan lainnya seperti nada suara, desah, tarikan nafas, tempo bicara, dan sebagainya disebut paralanguage. Karena itu komunikasi dapat terjadi dengan kata-kata, pernyataan dengan mimik muka, gerakan badan, nada suara, dan sebagainya.
Pada dasarnya terdapat tiga pola komunikasi, baik yang dilakukan anggota masyarakat, maupun dalam hubungan konseling, yaitu:
a.Tingkat Keterlibatan Rendah (Under-Participation)
Pola komunikasi yang dikembangkan konselor ini disebabkan beberapa hal, yaitu:
1)Takut terlibat dengan klien atau masalahnya.
2)Adanya kecemasan atau sikap tertentu yang berhubungan dengan egonya seperti rasa harga diri tinggidan rendah.
3)Kurang berminat dengan kehidupan konseling karena kurang menguntungkan secara finansial.
b.Tingkat Keterlibatan Konselor Berlebihan (Over-Participation)
Gaya respon konselor dalam berkomunikasi cenderung sebagai upaya untuk menutupi perasaan cemas. Konselor ini juga menggunakan kontrol sebagai alat mengurangi kecemasan (anxiety reduction tool). Konselor berorientasi pada perilaku action, senang menyampaikan pernyataan konfrontatif, dan sering melompat kepada kesimpulan tanpa kesadaran dan pertimbangan perasaan klien.
c.Keterlibatan Konselor Mengacaukan (Distracting Participation)
Konselor ini terlibat dalam reaksi konseling, akan tetapi sulit memfokuskan diri terhadap pesan utama atau masalah klien, bahkan cenderung membingungkan klien. Konselor tidak merespon pesan utama klien, akan tetapi pesan yang kedua atau yang lainnya yang kurang penting.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H