Lihat ke Halaman Asli

Anti Mainstream

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Sekuntum mawar tetaplah bernama mawar meski dipandang dari sudut yang mana saja. Dan sekuntum mawar tetaplah sekuntum mawar meski ia dilihat dari samping, bawah, atas, ataupun belakang. Sekuntum mawar tetaplah indah dan tak mengurangi aroma wanginya meski ia tidak dilihat dari depan sekalipun. Tapi mengapa ya, kebanyakan orang lebih senang memandang mawar dari depan? Padahal tidak ada lo aturan yang melarang untuk menikmati keindahan mawar mesti dari depan.

Saya menyukai bunga mawar. Tapi saya malas mengikuti kebiasaan pada umumnya dalam mengagumi kecantikan bunga mawar. Toh ini bunga, bukan manusia. Kalau manusia masih lah saya mengerti kenapa ia mesti dipahamkan mukanya. Karena memang wajahlah yang membedakan satu dengan lainnya. Tak ada satupun manusia yang punya wajah sama, bahkan manusia kembarpun pasti tak sama. Kembar juga pasti berbeda. Tapi ini kan mawar, bukan manusia. Tidak mungkin kan sekuntum mawar menjadi seperti kenanga dilihat dari samping, mirip asoka dilihat dari bawah, serupa kamboja dari atas, atau malah menjadi kembaran anggrek jika dilihat dari belakang. Mawar ya tetap mawar, dan mawar pun tetap tidak membuat saya pangling walaupun dipandang dari sudut mana saja. Karena itu saya tetap merasa nyaman dengan kesukaan saya dalam menikmati keindahan mawar. Dengan cara saya tentunya. Cara yang barangkali dianggap tak lazim dan aneh. Tapi peduli apa. Toh ini bukan suatu dosa.

Anti mainstream! Barangkali ada yang mengecap saya dengan istilah demikian. Bicara tentang anti mainstream mau tidak mau kita juga harus tahu juga tentang mainstream. Mainstream diambil dari bahasa Inggris. Main = utama, dan stream = arus. Jadi mainstream itu artinya arus utama. Atau terjemahan gampangnya kurang lebih bermakna Biasa. Sedangkan pengertian anti adalah berlawanan dengan yang dimaksud. Atau bisa juga diartikan tidak setuju, tidak suka, tidak senang. Jadi kalau didefinnisikan secara bebas barangkali menjadi tidak menyukai sesuatu yang biasa. Dengan kata lain, apabila tidak menyukai sesuatu yang biasa dengan sendirinya berarti menyukai sesuatu yang tidak biasa. Jadi, kalau ada orang yang menyukai sesuatu yang tidak biasa, senang melakukan hal-hal yang tidak biasa dapat dikategorikan sebagai orang yang anti mainstream. Ini secara teori, karena dalam prakteknya tetap susah untuk menentukan seseorang yang berprilaku bagaimana dan seperti apa yang layak menyandang predikat Mainstream atau Anti Mainstream.

Sebagai permisalan, seseorang yang sebelum mempunyai jabatan tinggi dan terhormat di dalam masyarakat, ekonominya biasa-biasa saja. Tetapi setelah memiliki jabatan tersebut, kekayaannya pun secara singkat meningkat luar biasa. Setelah diperiksa KPK, ternyata ia melakukan korupsi. Ini berarti, ia telah melakukan perbuatan yang tidak biasa di dalam menumpuk-numpuk kekayaannya. Apakah ia seorang anti mainstream?

Sebaliknya,ada permisalan lainnya. Seseorang yang sederhana, tetapi setelah diangkat jadi pejabat tinggi kehidupannya tetap sederhana. Hartanya cuma segitu-gitu saja, mobilnya tetap itu-itu saja, dan rumahnya pun tetap saja yang itu-itu juga. Orangnya tetap ramah, santun, dan sopan. Padahal ia orang luar biasa. Tapi ia punya perangai yang tidak biasa dilakukan oleh rekan-rekannya sesama pejabat. Ia berprilaku tidak selazimnya pejabat kebanyakan. Apakah ia seorang anti mainstream?

Ah, kenapa saya menjadi melantur-lantur tidak karuan seperti ini. Padahal saya kan hanya ingin menyampaikan pengalaman saya dalam menikmati keindahan sekuntum mawar. Tapi, koq malah melantur-lantur ke mainstream, anti mainstream, dan untuk apa pula saya bawa-bawa pejabat yang tak ada hubungannya dengan bunga mawar sama sekali. Dasar tukang melantur!

TapiJujur saja, saya memang senang dengan yang beda. Cuma jangan salah sangka dulu. Tidak setiap yang beda-beda pasti saya suka. Beda-beda yang saya suka sekedar beda yang ringan-ringan saja. Beda yang tidak dosa. Misalnya saja, mementingkan Salat Subuh terlebih dahulu ketimbang salat Id. Sebab ada sementara kawan-kawan yang justru lupa dengan Salat Subuh karena lebih mementingkan salat Id nya. Mendahulukan ibadah sunah dengan mengabaikan ibadah wajib. Ini dosa, dan saya tidak mau ikut di dalamnya.

Nah, kembali kepada hobi ketidaklaziman saya yang paling enggan memandang mawar dari depan. Ternyata kebiasaan tidak umum saya menular juga pada hal-hal lainnya. Ini bermula dari ucapan syukur kawan saya yang baru berulang tahun. Katanya:

“Alhamdulillah, tambah satu lagi usiaku tepat hari kemarin.”

“Memang berapa usiamu sekarang?” Tanya saya.

“37.”

“Sebelumnya?”

“36.”

“Berarti usiamu itu bukan bertambah, tapi malah berkurang.”

“Kamu ini bagaimana sih. Jelas-jelas sebelumnya 36. Sekarang 37. berarti tambah 1. 36+1=37. Anak TK aja tau itu!”

Tapi saya tidak peduli ngototnya kawan saya. Saya punya argumen sendiri terhadap masalah ini. Kata saya:

“Kamu percaya tidak, bahwa rejeki, jodoh, dan maut Tuhan yang menentukan?”

“Percaya.”

“Dan kamu percaya tidak kalau Tuhan pun sudah menentukan batas umurmu?”

“Percaya.”

“Nah, sekarang kita misalkan saja. Seandainya Tuhan memberimu umur sampai 70 tahun. Saat usiamu 36 berarti jatahmu di dunia berapa tahun lagi?”

Ia sibuk menghitung. Lalu jawabnya, “34.”

“Sekarang usiamu berapa?”

“37.”

“Berarti jatahmu tinggal berapa?”

“33.”

“Berarti berkurang atau bertambah?”

“Berkurang.”

“Berarti usiamu berkurang atau bertambah?”

“Berkurang. Iya .. ya .. koq malah berkurang ya?” Kawan saya terlihat bingung, tapi biarlah, yang penting ia sudah setuju dengan argumen saya.

Ya, saya memang menyenangi yang beda. Sebab bosan rasanya jika segala sesuatu selalu dipandang dari satu sudut saja. Saya ingin menikmati sesuatu dengan cara segar. Saya melihat masih ada begitu banyak kebenaran-kebenaran yang tidak tergali jika hanya memandang sesuatu dari satu sisi. Masih begitu banyak kemungkinan-kemungkinan kebenaran yang hanya bisa dijamah bila kita mau membuka diri untuk mencarinya dengan cara yang lain. Saya ingin menikmatinya. Beda tapi tidak berdosa. Menikmati dengan cara yang benar!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline