Lihat ke Halaman Asli

Di kampungku, tak ada lagi bocah yang bernama Slamet atau Siti…

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tahun baru selalu identik dengan perubahan. Karena ada yang baru , berarti ada kondisi-kondisi lama yang digantikan. Dan biasanya yang baru selalu lebih memukau dari yang lama .

Di kampung halaman saya di Boyolali, perubahan berarti kenyataan bahwa globalisasi telah menggilas “situs-situs” tradisional khas pedesaan dan merenggut imajinasi tentang desa yang indah, gemah ripah loh jinawi, sejahtera dan ramah.

Di kampung halaman saya, perubahan adalah semakin sempitnya lahan persawahan yang beralih fungsi menjadi pemukiman. Lelaki-lelaki dewasa lebih banyak duduk-duduk tanpa pekerjaan karena tanah-tanah telah digadaikan atau dijual setelah tuntutan hidup tak lagi sederhana. Sawah ladang yang tersisa pun tak lagi memperdengarkan suara lenguhan kerbau menarik bajak di siang hari, diganti oleh raungan suara traktor yang menggelegar dengan angkuhnya.

Perubahan berarti juga semakin sedikit lelaki-lelaki muda berbadan legam dengan otot-otot menonjol kekar karena terbiasa mencangkul sawah ladang di bawah terik matahari seharian. Beramai-ramai mereka pergi ke kota meninggalkan kampung yang tak lagi menjanjikan, lalu menjelang lebaran mereka kembali dengan penampilan baru berupa celana jeans, kaos bergambar artis serta buntalan kardus berisi oleh-oleh bukti hasil kerja keras mereka di Jakarta sebagai buruh bangunan. Tak ada lagi tawa centil gadis-gadis remaja yang bercanda saat mandi atau mencuci di kali, karena sebagian dari mereka telah mengisi pabrik-pabrik di kota atau mengembara ke negeri orang menjadi TKI.

Perubahan juga berarti datangnya sesuatu yang modern. Telefon seluler dari merk yang paling terkenal sampai yang paling murah buatan negeri Tirai Bambu menjadi barang yang wajib dimiliki. Sepeda motor buatan negeri sakura juga bukan lagi barang mewah, bahkan kemudahan yang ditawarkan toko-toko membuat sebagian keluarga memiliki lebih dari satu unit sepeda motor di rumah mereka. Alhasil, uang belanja yang dikeluarkan orang tua pun tidak hanya untuk mengurus sawah atau biaya sekolah anak-anak, tetapi juga pulsa atau bensin yang harganya tak lagi murah.

Jangan lupa televisi. Kotak ajaib itu kini menjadi primadona baru di kampungku, merusak keintiman khas keluarga petani di mana sang ayah berbincang hangat dengan ibu soal kapan benih padi akan disemai serta anak-anak mereka yang asyik belajar di bawah temaram sinar lampu teplok di malam hari. Kini setiap anggota keluarga tersihir oleh tayangan sinetron yang menampilkan kisah rebutan harta antara keluarga kaya, bapak yang selalu tampil necis berdasi tetapi tak pernah jelas pekerjaannya, ibu yang hobi menggosip atau memaki dengan mata mendelik, serta anak-anak remaja yang sehari-harinya hanya sibuk jalan-jalan di mal atau rebutan pacar. Iklan kecantikan dan mi instan bercampur dengan umbaran janji politisi pun kini menjadi teman sarapan sehari-hari.

Televisi juga yang membuat tak terdengar lagi jeritan riang anak-anak bermain kejar-kejaran atau petak umpet saat bulan sedang purnama. Surau tak lagi penuh dengan anak-anak yang belajar mengaji, dan sebaliknya persewaan playstation serta warung internet menjadi tempat yang lebih menyenangkan untuk menghabiskan waktu-waktu produktif mereka.

Dan hal sederhana yang membuat saya betul-betul takjub adalah kenyataan bahwa di kampung halaman saya yang terpencil di utara Boyolali sana, hampir tidak ada lagi orang tua yang menamakan anaknya dengan nama-nama khas desa seperti Slamet atau Siti. Mencari anak kecil bernama Ngatini, Mukmin, Joko atau Paiman pun bukan pekerjaan yang mudah lagi. Yang ada adalah balita atau bocah-bocah yang menyandang nama-nama “modern” mirip artis sinetron seperti Farrel, Fredy, Dion, Cinta, Laura, Nikita atau Olivia…

Kampungku memang telah berubah…

Selamat tahun baru…



Semarang, 31 Desember 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline