Lihat ke Halaman Asli

Abang Agamanya Apa?...

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[caption id="attachment_289395" align="alignleft" width="300" caption="papan bertuliskan nama beberapa LSM internasional di Meulaboh (foto:dok.pribadi)"][/caption]

“ Jadi, lembaga ini punya orang Katholik ya, bang?” tanya Dewi.

“ Ya. Memang kenapa?” jawab saya balik bertanya.

Dewi diam tidak menjawab. Saya melihat air mukanya berubah pucat. Matanya lunglai. Dewi adalah salah satu mahasiswa korban tsunami Aceh 2004 yang mendapat beasiswa dari lembaga tempat saya bekerja di Meulaboh, Aceh Barat. Saya mengenalnya sebagai gadis muda Aceh yang taat, mengenakan gamis panjang, enerjik dan juga cantik.

Kisah ini terjadi beberapa tahun yang lalu, sekitar tahun 2007. Saya lupa tanggal dan bulannya. Ketika itu saya masih bekerja di lembaga kemanusiaan di Meulaboh, Aceh Barat. Hari itu, jadual rutin saya adalah berdiskusi dengan mahasiswa penerima beasiswa dari lembaga tempat saya bekerja. Mereka adalah mahasiswa korban tsunami yang dibantu biaya kuliahnya karena karena kehilangan orang tua, harta benda atau mata pencaharian. Selain beasiswa, kami memberikan pendampingan berupa pelatihan organisasi dan keterampilan seperti sablon, juga kegiatan peningkatan kapasitas lainnya.

Hari itu sebenarnya ada mahasiswa yang bertugas sebagai moderator dan menyampaikan makalahnya untuk dijadikan bahan diskusi. Tetapi kebetulan mereka tidak datang. Kami akhirnya mengisi waktu dengan diskusi ringan. Topik yang kami bicarakan adalah tentang lembaga saya.

“Kalau tahu begini bang, saya tidak akan menerima beasiswa dari lembaga ini.“ kata Dewi perlahan.

“Kenapa?“ tanya saya.

”Haram hukumnya menerima bantuan dari orang kafir“.

Jawaban Dewi sudah bisa saya duga. Kekhawatiran Dewi juga dirasakan sebagian masyarakat Aceh yang khawatir bahwa dibalik banjir bantuan yang diterima rakyat Aceh setelah bencana tsunami, tersembunyi misi tertentu untuk menggerogoti akidah dan mencerabut orang Aceh dari akarnya, Islam.

Isu pendangkalan akidah dibalik bantuan fisik maupun non-fisik menjadi bagian tak terpisahkan dibalik proses rekonstruksi maupun rehabilitasi Aceh pasca tsunami. Berbagai LSM nasional dan internasional datang dengan berbagai embel-embel, termasuk agama. Para pekerja dari berbagai latar belakang agama, suku dan bangsa datang silih berganti, dengan tingkah dan kebiasaan masing-masing.

Tidak hanya di Banda Aceh atau di kota lainnya di Aceh yang sedang membangun, berjalan-jalan di sudut kota Meulaboh ibarat berada di kota metropolis, mungkin seperti kota-kota di jalur perdagangan internasional pada masa lampau. Di warung kopi atau kafe dadakan yang banyak bertebaran, di barak pengungsian, di toko kelontong beragam orang dari beragam suku bangsa –dan tentunya agama- adalah pemandangan biasa.

Bagi mereka yang mengail di air keruh, mengembuskan isu pendangkalan akidah benar-benar suatu cara yang jitu. Seperti melempar sarang lebah dengan batu. Aceh identik dengan Islam sebagaimana versi sejarah yang meyakini Aceh sebagai pintu gerbang pertama Islam masuk ke Nusantara pada abad ke 13. Julukan Serambi Mekkah seperti meneguhkan identitas itu. Dalam keseharian, kentalnya keislaman rakyat Aceh begitu kuat.

Modus isu pendangkalan akidah pun bermacam-macam. Warga pengungsi di sebuah barak memprotes bantuan buku tulis yang dibagikan sebuah LSM internasional kepada anak-anak mereka karena terdapat simbol salib. Ternyata, setelah diteliti bukan lambang salib, melainkan simbol LSM tersebut adalah sinar cahaya yang seakan seperti simbol salib. Lalu muncul isu injil bahasa Aceh, atau khotbah yang dilakukan seorang dengan bahasa Aceh yang mengajak warga untuk memeluk keyakinan tertentu. Beberapa LSM yang diusir dari suatu desa karena dinilai tidak peka terhadap nilai dan adat istiadat setempat

Yang aneh adalah bahwa isu pendangkalan akidah paling santer beredar menjelang proses penandatanganan MOU antara RI dan GAM Agustus 2005. Meski belum tentu sahih, tentu tidak salah mengambil kesimpulan bahwa isu ini diciptakan oleh kelompok-kelompok yang ingin mengambil keuntungan dari momen tersebut.

Dalam situasi tersebut, sebagai muslim yang bekerja di sebuah lembaga Katholik yang kebetulan mendampingi masyarakat yang mayoritas beragama Islam adalah tantangan tersendiri. Staf di lembaga saya terdiri dari beragam latar belakang, termasuk keyakinan. Yang mengaku tidak punya keyakinan juga banyak. Kalau tidak pandai membawa diri, yang non-muslim bisa dianggap mengajak pindah keyakinan. Yang muslim seperti saya dan beberapa teman juga tidak mudah, bisa dianggap membantu gerakan pendangkalan akidah.

Menjelaskan visi misi lembaga, program dan cara menjalankannya membutuhkan kesabaran dan keterampilan tersendiri. Tantangan menjadi semakin besar ketika program yang kita jalankan bukan berupa bantuan fisik, melainkan peningkatan kapasitas, seperti pelatihan atau pendampingan anak. Kami harus menyortir buku bacaan yang hendak dibagikan kepada anak-anak atau dibaca mahasiswa. Membagikan Al Quran atau buku Iqra’ (buku belajar membaca Al Quran untuk anak) juga harus teliti, apalagi jika al Quran terjemahan. Ada kasus –tepatnya isu yang entah benar entah tidak- sebuah lembaga membagikan Al Quran terjemahan yang terjemahannya konon salah dan malah mendangkalkan akidah. Ketika mengadakan pelatihan untuk para mahasiswa dan guru, kami harus berhati-hati menyusun acara. Pada saat azan atau waktu shalat, harus berhenti. Bahkan bagaimana memilih kata, agar tidak keseleo lidah, menyerempet sesuatu yang berbau agama.

Sejak awal 2005, masih pada masa tanggap darurat, saya dan teman-teman masih selalu terbuka mengenai identitas lembaga terutama kepada masyarakat dampingan awam. Dengan berhati-hati, kami menjelaskan bahwa sama sekali tidak ada misi agama dalam kerja lembaga kami. Kami juga menjelaskan komposisi staf, yang seimbang antara muslim dan non-muslim.

Kejujuran memang diperlukan diawal. Selain untuk menjaga hubungan baik dengan penerima manfaat, ini juga dilakukan untuk menjaga transparansi. Penerima manfaat juga bisa memilih apakah mau menerima kami atau tidak, yang itu berarti menjaga prinsip kebebasan mereka. Yang selalu kami katakan, kami tidak pernah memaksa mereka untuk menjadi penerima manfaat kami.

Kembali ke Dewi dan teman-temannya. Kekhawatiran Dewi berkembang menjadi sebuah diskusi menarik dengan teman-temannya.

” Abang agamanya apa?” tanya Dewi kepada saya.

” Islam”

” Mengapa abang mau bekerja di lembaga Katholik?”

Dengan berhati-hati, saya mengambil analogi saya adalah ketika kita tenggelam di sungai, lalu ada orang menolong, tentu tidak perlu kita menanyakan apa maksudnya menolong. Tidak perlu kita menanyakan apa agamanya, apa sukunya, apa partainya dan sebagainya karena yang pasti kita butuh bantuan saat itu juga. Islam bukanlah agama yang ekslusif. Islam adalah agama toleran yang menganjurkan umatnya bekerjasama (muamalah) satu sama lain, bahkan dengan umat agama lain, apalagi untuk urusan kebaikan.

Lagipula, tidak ada yang menyangka tsunami Aceh bisa terjadi. Kerusakan dahsyat akibat tsunami Aceh adalah salah satu yang terbesar dalam dalam sejarah peradaban modern. Jepang yang punya karakter geografis yang rawan bencana dan memiliki sejarah bencana alam yang panjang juga bahkan mungkin tidak siap dengan skala kerusakan tersebut. Kondisi inilah yang membuat berbagai negara, relawan sipil ataupun militer, organisasi kemanusiaan Islam, Kristen, Budha atau agama apapun menawarkan bantuan kepada Aceh. Kemanusiaan menang melebihi batas-batas ras, suku, agama dan apapun juga.

Tentu bukan maksud saya untuk memberikan pemahaman baru kepada Dewi. Bagaimanapun juga kekhawatiran Dewi karena alasan keyakinan yang layak dihormati. Orang-orang seperti Dewi bebas memilih apakah mereka mau menerima bantuan atau tidak dengan alasan keyakinan atau lainnya. Memaksakan kehendak kepada orang lain agar mau menerima sesuatu berarti sama halnya meminta orang tersebut menyerahkan hartanya dengan terpaksa.

Setelah diskusi kecil itu selesai, Dewi tersenyum lega. Ketika pulang, ia lalu meminjam film Soe Hok Gie yang kebetulan baru saja kami beli untuk menambah koleksi perpustakaan.

”Kau tahu siapa Soe Hok Gie?”

Dewi menggeleng. Pertanyaan itu pula yang saya ke ajukan beberapa mahasiswa lain yang ada di ruangan.

”Kalau begitu, minggu depan kita diskusi tentang Soe Hok Gie ya...” kata saya mengakhiri diskusi hari itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline