Lihat ke Halaman Asli

Kisah Keluarga Mas Suhadak

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Foto: Google.com

Lebaran kemarin, saya diajak istri ke rumah saudaranya, tepatnya pakdhe dari pihak bapak mertua. Rumah pakdhe terletak lebih kurang 2 kilometer dari rumah istri saya. Dari jalan besar yang menghubungkan Kecamatan Kuwu di Grobogan dengan Cepu di kabupaten Blora, kami masuk ke jalan kampung berdebu dan melewati tegalan yang kering kerontang. Grobogan waktu kemarau adalah sebuah bencana, sekaligus menyajikan pemandangan yang eksotis. Sejauh mata memandang adalah tanah-tanah hitam merengkah, kontras dengan daun jagung dan rerumputan berwarna coklat muda.

Kami terus menyusuri jalanan desa berbatu. Setelah itu masuk ke jalan setapak di tepian sawah kering yang menjadi ladang jagung yang menghampar. Saya jadi teringat suasana di film-film Jeeper Creper, Freddy and Jason atau film-film tentang hantu ladang jagung di film-film Holywood. Setelah beberapa menit perjalanan, tibalah kami di depan sebuah rumah. Ada tiga buah rumah yang berderetan dengan kondisi yang hampir sama. Rumah, mungkin tepatnya gubuk dengan ukuran lebih luas. Semuanya berdinding campuran anyaman bambu dan papan yang sudah kusam dan kering. Sudah reot di sana-sini, bahkan beberapa tiang sudah miring. Di emperan, ada tumpukan jerami. Bau kotoran sapi menyengat, khas desa.

Istri saya mengajak masuk ke rumah yang terletak paling ujung. Begitu kaki melangkah melewat garis pintu, tampak sebuah pemandangan yang membuat saya tertegun dan ragu. Tidak ada kamar di rumah itu. Suasanya terasa gelap karena tidak ada jendela, hanya sebaris kecil cahaya masuk dari genteng kaca. Tidak ada televisi yang kini menjadi kebutuhan wajib di rumah tangga di Indonesia, kulkas atau perabotan rumah tangga lainnya. Di pojok depan dekat pintu, seekor sapi dengan tenangnya mengunyah tumpukan rumput di yang tersebar begitu saja di lantai yang terbuat dari tanah. Di tengah ruangan, seorang lelaki berusia 40 tahunan, seorang perempuan, dan 3 anak remaja tanggung duduk di kursi panjang, mengelilingi sebuah meja kayu. Jika lebaran identik dengan kue nastar dan kue-kue kaleng, di meja tersebut tersaji makanan kecil khas desa; maring jagung dan keripik pisang di toples kaca yang sudah kusam. Di pojok yang lain, seorang lelaki tua melinting rokok klobot, di temani seorang perempuan tua duduk di amben. Sementara di ujung, sebuah tempat tidur dengan kelambu kumal, duduk seorang perempuan muda menggendong bayi. Sekitar tiga orang anak kecil, seorang bayi baru belajar berjalan..total jenderal ada 10 jiwa di dalam rumah itu.

Saya dikenalkan oleh istri pada keluarga tersebut. Meski sudah hampir 2 tahun menikah, bekerja di luar Jawa membuat saya tidak banyak mengenal seluruh keluarga istri saya. Lelaki tua yang melinting rokok klobot itu pakdhenya, lalu istri dan anak-anak serta cucu-cucunya. Saya hanya mengenal salah satu anak pakdhe, seorang lelaki periang dan pekerja keras. Namanya mas Suhadak. Dialah yang sering membantu keluarga istri saya untuk urusan membetulkan atap bocor, memetik kelapa, dan “pekerjaan kotor” lainnya. Kami lalu mengobrol sambil menikmati marning jagung. Beberapa ekor ayam lewat di sela-sela kaki. Bahkan salah seorang anak kecil tadi dengan santainya jongkok dan pipis di lantai yang terbuat dari tanah....

Saya memang bukan berasal dari kota atau keluarga kaya. Tapi bertemu dengan keluarga dengan kondisi seperti itu membuatku menjadi trenyuh sekaligus takjub. Saat ini, televisi bukan lagi barang mahal, motor bisa dikredit dengan mudah, dan kulkas sudah menjadi ukuran kesejahteraan. Bahkan mempercantik rumah bukan lagi kebutuhan, malah menjadi semacam perlombaan dan adu gengsi. Dan sekian ukuran kesejahteraan versi umum itu tidak satupun kutemui di keluarga itu. Meski demikian, ada sesuatu yang samar-samar masuk ke dalam dapur kesimpulan di otak saya; energi kebahagiaan keluarga tersebut. Energi kebahagiaan yang saya tangkap dari binar mata dan ketulusan mereka saat menerima saya.

“Terus terang aku kaget dengan kondisi keluarga Pakdhe. Kok bisa mereka hidup seperti itu itu,” kataku kepada istri dalam perjalanan pulang. Dalam hati, saya mencoba mencari pembenaran dari kesan samar yang memenuhi pikiran saya.

“Maksudmu kondisi ekonomi mereka. Jangan salah sangka dan terburu-buru mengambil kesimpulan hanya dari sekilas yang kau lihat. Mereka memilih jalan hidup seperti itu. Kalau orang lain panen jagung hasilnya untuk memperbagus rumah, membeli sepeda motor atau televisi. Tetapi mereka tidak, meski mereka bisa melakukannya. Kau tahu, mereka membikin rumah berdekatan agar bisa dekat satu sama lain. Mereka rukun-rukun, tidak pernah menyusahkan orang lain dan lebih dihormati oleh saudara-saudara yang lain justru karena kesederhanaan dan kebersamaan keluarga itu.”

Saya hanya diam, dan kesan samar dalam pikiran saya berubah menjadi pendar kekaguman. Memang, ada energi kebahagiaan yang luar biasa dari keluarga itu. Kebahagiaan yang muncul dari kesederhanaan dalam menjalani hidup dan kehangatan dalam keluarga. Mereka seperti tidak silau pada ukuran-ukuran kebahagiaan berdasar seberapa layak rumah mereka, seberapa banyak harta atau perabotan yang mereka miliki dan semacamnya. Kebahagiaan bagi mereka adalah bekerja keras menyemai jagung di siang hari, mencari jerami dan rumput untuk makanan sapi, memanjakan diri dengan mendengarkan ketoprak dari radio sambil mengawasi kambing yang merumput, dan jika malam menjelang bercengkerama dengan keluarga sambil menikmati rokok klobot dan marning jagung.

Dan mungkin kebahagiaan seperti itulah yang dialami oleh jutaan keluarga yang hidup di pelosok desa-desa di negeri ini. Keluarga-keluarga yang hidup sederhana atau bahkan mungkin kekurangan secara ekonomi, menjalani hari-hari dengan kerja keras tetapi tidak menganggap bahwa segalanya harus dimiliki. Keluarga-keluarga yang masih memelihara rasa guyub dan kebersamaan dalam obrolan-obrolan malam di teras rumah tentang rencana besok pagi tanpa kehadiran televisi yang gencar menawarkan aneka macam barang. Dan kesederhanaan itu pula yang membuat mereka mampu mensyukuri setiap rezeki dan nikmat Tuhan yang tidak selalu berupa harta, tetapi juga tubuh yang sehat, anak-anak yang lincah, tunas-tunas tanaman yang tumbuh perlahan, ternak yang gemuk, dan lebih dari itu adalah hidup yang tenteram.

Ukuran kebahagiaan memang berbeda bagi setiap orang. Tetapi yang membuat makna kebahagiaan lebih berarti adalah proses mencapai kebahagiaan itu sendiri. Bagi keluarga mas Suhadak dan jutaan keluarga lainnya, setiap detik adalah rutinitas yang berjalan pelan dan penuh makna, baik saat bekerja atau beristirahat. Sebuah proses yang menjadikan batin mereka kaya dan penuh rasa syukur. Sementara di tempat lain, waktu terlalu pergi terburu-buru, orang-orang menghabiskannya untuk menumpuk harta lalu menghamburkannya demi kesenangan badaniah; makan minum enak di tempat berkelas, baju mahal, aksesoris impor, mobil yang selalu berganti merek, tempat tinggal mewah dan segala kesenangan yang hanya bisa didapat dengan cara cepat dan instan, tetapi pada saat yang sama juga mengorbankan segenap potensi kreatifnya sebagai manusia. Seperti laron yang sibuk mengerubuti cahaya dan tanpa sadar membuat tubuh mereka sendiri mati terbakar....

Tulisan ini pernah dipublikasikan di blog pribadi www.amsa7.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline