Lihat ke Halaman Asli

Menang Lomba di Kompasiana...

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

[caption id="attachment_272400" align="alignleft" width="300" caption="Bersama para guru yang selama ini begitu banyak memberi inspirasi (Foto: Enggal Sulaksono/dok. JRS Indonesia)"][/caption] "Selamat mas, menang lomba menulis di Kompasiana", begitu ucapan seorang teman kepada saya. Hari itu, Senin tanggal 20 September 2010, saya sedang berada di Tapaktuan, Aceh Selatan untuk memfasilitasi pelatihan Living Values Education Program bagi para guru sekolah dasar di kota tersebut. Reaksi saya tentu terkejut luar biasa. Setelah sesi pelatihan selesai, dengan tergesa saya segera mengakses Kompasiana. Keraguan sempat muncul karena tidak ada berita resmi dari admin Kompasiana yang mengumumkan hasil lomba menulis Citizen Journalism "Discover The Real Superheroes in Your Life". Tetapi setelah menemukan tulisan reportase dari mas Dian Kelana, perlahan tapi pasti tubuh saya terasa seperti melayang-layang di udara. Rasanya seperti mimpi. Beberapa waktu sebelumnya, saya sudah terkaget-kaget ketika menemukan nama saya terpampang sebagai salah satu finalis lomba . Selain kisah perjuangan pak Anwar, saya juga mengirim tulisan mengenai kisah beberapa mahasiswa korban tsunami di Meulaboh, Aceh Barat. Tulisan yang kedua menjadi headline di Kompasiana, sehingga sempat membuncahkan harapan yang diidamkan setiap peserta lomba; menang. Nyatanya, yang menang adalah kisah pak Anwar yang menjelang pengumuman pemenang hanya dibaca sekitar 40-an orang saja. Sekedar berbagi dan tanpa maksud lain, ini adalah kali ketiga saya menang lomba menulis di Kompasiana. Sebelumnya tulisan saya http://ib-bloggercompetition.kompasiana.com/2009/06/12/bank-syariah-bank-perdamaian/ pernah menjadi salah satu tulisan terfavorit di lomba menulis dengan tema bank syariah. Saat itu, ibarat rumah, Kompasiana masih sangat sederhana dengan cat birunya. Meski tidak menang dalam hal peringkat, rasanya saat itu saya adalah orang yang paling berbahagia di dunia. Apalagi ketika Bank Indonesia sebagai sponsor lomba mengirimkan sejumlah cenderamata sebagai hadiah kepada saya. Tulisan saya yang lain, http://umum.kompasiana.com/2009/08/11/soto-rasa-indonesia-vs-soto-dari-amerikamencintai-indonesia-dari-semangkuk-soto/ juga pernah menjadi salah satu dari tiga pemenang utama lomba menulis cinta Indonesia. Hadiah berupa telefon seluler merk Kompas pun saya terima. Saya selalu bangga jika ada seorang teman dengan keheranan melihat telefon selular yang saya pakai dan bertanya," Memang koran Kompas sekarang juga memproduksi telefon genggam?" Lepas dari soal menang atau tidak, bagi saya pencapaian paling puncak bagi seorang penulis adalah ketika tulisannya mendapatkan apresiasi positif dari pembaca. Saya masih ingat, saat masih mahasiswa berkali-kali mencoba memasukkan tulisan saya ke berbagai surat kabar, baik lokal maupun nasional, termasuk harian Kompas. Sekian puluh tulisan yang saya kirim selalu saja berakhir dengan ucapan terimakasih disertai permohonan maaf redaksi karena tidak bisa memuat tulisan tersebut. Pada akhirnya saya harus puas menulis di media dengan lingkup pembaca yang terbatas seperti koran kampus, buletin kecil di beberapa organisasi yang saya ikuti, atau media internal kantor tempat saya bekerja. Belakangan, hasrat menulis sedikit tersalurkan ketika fenomena blog gratis sedang populer, meski hanya sedikit orang yang mampir dan membaca tulisan saya setiap harinya. Kini, era media sosial baru (new social media) melalui jejaring sosial seperti Facebook, Twitter atau media keroyokan seperti Kompasiana telah memberi alternatif bagi orang-orang biasa seperti saya untuk tetap menulis dan menyumbangkan gagasan ataupun informasi kepada siapapun dalam skala yang lebih luas tanpa khawatir disensor atau tidak dimuat karena alasan redaksional. Bayangkan, berapa ribu penulis baru yang lahir setelah munculnya blog keroyokan seperti Kompasiana ini? Terlepas soal kualitas, fakta ini tentu memelihara harapan tetap tumbuh dan berkembangnya Indonesia sebagai bangsa yang terbiasa bertukar pendapat, ide dan informasi dengan cara yang sehat dan beradab, yakni melalui tulisan. Sejarah mencatat bahwa peradaban dunia bergerak dengan berbagai penemuan revolusioner seperti peta, mesin uap dan tentu saja mesin cetak oleh John Gutenberg pada tahun 1439 yang memungkinkan terjadinya distribusi informasi dan pengetahuan dan informasi ke penjuru bumi. Bedanya, dulu informasi dan ilmu pengetahuan hanya bisa diproduksi oleh kaum tertentu -intelektual, agamawan, filsuf- sementara orang awam hanya berperan sebagai konsumen. Kini, sejarah mencatat penemuan yang mungkin menyamai Guttenberg, yakni internet, diikuti oleh Google sebagai mesin pencari, Facebook sebagai situs jejaring sosial atau media blog yang berperan dalam distribusi informasi dan wacana ilmu pengetahuan dengan cara yang tidak hanya cepat dan variatif, tetapi juga lebih interaktif dan egaliter, dimana setiap orang bisa berperan sebagai ‘produsen' informasi dan ilmu pengetahuan tanpa melihat status atau latar belakang mereka. Tetapi menulis bukan cuma aktifitas memproduksi informasi atau ilmu dalam arti kaku dan mekanis. Kata orang bijak, menulis bukan sekedar proses merangkai kata dan menyebarkan gagasan yang ada di kepala, tetapi juga seni mengolah gagasan tersebut agar relevan dan bisa disumbangkan dalam memecahkan persoalan sosial yang ada di masyarakat. Agar diterima, sebuah gagasan tentu mensyaratkan semacam pengujian, entah dengan mendiskusikannya dengan rekan, memperkuatnya dengan berbagai teori atau referensi yang sudah ada, dan yang paling penting adalah menguji dan merefleksikan gagasan tersebut agar sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan hati nurani penulisnya sendiri. Verba Volant, Scripta Manent. Kata-kata akan hilang, sementara tulisan akan abadi. Begitu sebuah pepatah latin menguatkan pentingnya menulis agar gagasan yang banyak berkecambah di kepala setiap orang tidak mudah hilang dan dilupakan. "Menulislah, tulislah apapun itu, tulislah semuanya, menulislah tak peduli tulisanmu ditolak editor atau penerbit, tak peduli tulisanmu di larang atau dibakar, tetap menulis. Suatu saat pasti akan berguna" Itu kata Pramoedya Ananta Toer yang hidup di era di mana penguasa masih hobi melarang buku atau masa ketika blog keroyokan dan fenomena jurnalisme warga belum mewabah seperti sekarang ini. Kalau saja Pram masih hidup saat ini, ia pasti akan mengatakan, "Menulislah, apapun bisa kau tulis di Kompasiana..." Selamat menulis...




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline