[caption id="attachment_223349" align="alignleft" width="298" caption="Foto: http://megapolitan.kompas.com/read/2010/08/07/13132515/Dr.Adeline.Ditodong.Kelewang"][/caption] Ketika anaknya divonis menderita kelainan jantung dan harus segera dioperasi, John Quincy Archibald dihadapkan pada situasi yang sulit. Lelaki kulit hitam ini hanya seorang buruh di sebuah pabrik di Chicago, sementara istrinya Denise hanya kasir di sebuah super market. Situasi makin buruk ketika perusahaan tempatnya bekerja menurunkan statusnya dari pegawai penuh menjadi pegawai paruh waktu, yang tentu berpengaruh pada berbagai fasilitas yang ia terima. John, adalah suami yang begitu mencintai Denise istrinya dan sangat bangga dengan Michael Archibald, anaknya.
Mimpi melihat Michael tumbuh dewasa dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik membuat John mati-matian mendapat biaya untuk transplantasi jantung. Asuransi kesehatan dari kantornya tidak mencakup biaya operasi yang begitu mahal. Rumah, harta benda bahkan bantuan dari kerabatnya tetap saja tidak mencukupi biaya operasi. Bahkan hanya untuk memasukkan nama anaknya ke dalam daftar tunggu pasien penerima transplantasi, pihak RS meminta uang sebesar $ 75.000. Ketika kondisi Michael semakin kritis, John akhirnya membuat keputusan yang dramatis. Ia menyandera dokter Raymond Turner, dokter spesialis bedah jantung dan beberapa pasien di RS tempat Michael dirawat.
Kisah gigih sekaligus tragis perjuangan John Archibald menyelamatkan nyawa anaknya memang tidak benar-benar terjadi di dunia nyata. John Archibald hanyalah sosok rekaan Hollywood dalam film berjudul John Q. Denzel Washington, aktor yang punya senyum menawan itu memainkan perannya sebagai John Archibald dengan sempurna. Anda yang sudah menyaksikannya pasti tahu bagaimana akhir dari film yang diproduksi tahun 2002 tersebut.
Tetapi tidak banyak yang peduli jika Jum’at 6 Agustus yang lalu, kisah John Q menjelma ke dalam dunia nyata. Tidak di Chicago di Amerika sana, tetapi terjadi di Jakarta, Indonesia. Pada minggu-minggu itu, beritanya di media kalah dengan isu denominasi rupiah, ‘perang’ kata Mega dan SBY, atau keong racun yang mendunia itu. Manik -lelaki berusia 25 tahun- menyandera dokter Adeline, seorang dokter jaga di RS Koja, Jakarta Utara. Ia menyandera sang dokter karena ibunya, Tarkem (60) yang menderita diabetes kronis, tidak juga mendapat perawatan di ruang ICU. Pihak rumah sakit beralasan saat itu ruang ICU sedang penuh. Setelah menunggu selama dua hari tanpa kejelasan, Manik pun mengalungkan kelewang ke leher sang dokter.
Barangkali Manik pernah menonton kenekadan tokoh John Archibald sehingga ia pun melakukan tindakan yang sama. Atau memang pilihan yang diberikan rumah sakit tidak memberi ruang bagi akal sehatnya untuk bicara. Pihak RS Koja sendiri menjelaskan bahwa ruang ICU sedang penuh dan keluarga Tarkem diberi pilihan untuk menunggu ruang ICU kosong atau mencari rumah sakit yang terdekat. Manik menolak karena alasan jarak yang jauh. Menurut salah seorang dokter yang bertugas di RS Koja, rumah sakit ini memang menjadi rujukan favorit pasien miskin yang menggunakan program jamkesmas atau keluarga miskin di wilayah Jakarta Utara dan sekitarnya.(Kompas.com, 7 Agustus 2010)
Kisah Manik menyandera seorang dokter adalah kado pahit untuk negeri yang sebentar lagi memasuki usianya yang ke 65 tahun ini. Betapa seringnya urusan nyawa kalah oleh persoalan administrasi. Banyak pasien miskin dan sekarat ditolak rumah sakit karena tidak mampu menunjukkan kartu berobat gratis, persyaratan yang kurang lengkap, rumah sakit penuh, atau hanya tempat tinggal pasien yang berbeda dengan wilayah administrasi rumah sakit. Sementara ibu-ibu harus rela bayi yang dilahirkannya dijadikan sandera pihak rumah sakit karena tidak mampu membayar biaya persalinan. Gembar-gembor biaya kesehatan gratis bagi si miskin yang dijanjikan penguasa menguap, hilang ditelan kegaduhan para politisi yang sibuk berdebat kusir sambil mencari kesempatan menumpuk kekayaan untuk diri sendiri.
Hanya di negeri ini kemanusiaan direndahkan oleh uang dan status. Kalau saja Manik punya uang, ia bisa memilih rumah sakit terbaik manapun untuk merawat ibunya. Misalnya saja Manik adalah seorang yang punya kuasa, niscaya puluhan rumah sakit dengan layanan berkelas internasional berlomba-lomba menawarkan perawatan kelas satu untuk ibunya.
Tetapi Manik bukanlah pejabat atau mantan politisi yang bisa sehat atau sakit kapanpun ia mau, apalagi ketika dipanggil untuk menjadi saksi untuk kasus korupsi. Manik juga bukan konglomerat perusahaan batubara dan lumpur panas yang sebentar-sebentar bisa cek kesehatan sambil wisata di negeri singa, atau aparat penegak hukum yang di rekeningnya sesak dengan angka miliaran rupiah.
Manik hanyalah satu dari jutaan noktah kecil yang tidak terlihat dari singgasana kekuasaan, yang harga diri dan martabatnya sebagai rakyat turun menjadi sekedar deretan angka statistik. Untuk mengurusnya, cukup dibuatlah label identitas sebagai orang miskin atau keluarga miskin, lalu diciptakan ilusi yang disebut kartu jaminan kesehatan keluarga miskin, layanan kesehatan gratis dan seterusnya.
Sayang seribu sayang, Manik tinggal di negeri di mana ketika ibunya dan jutaan orang miskin lainnya meregang nyawa karena tidak mampu berobat, penguasanya hanya bisa mengeluh dan malah sibuk mengurusi penampilan agar tampil wibawa di depan televisi…
Dirgahayu Indonesiaku…
Semarang, 12 Agustus 2010
Saefudin Amsa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H