Lihat ke Halaman Asli

Ramadhan dan Razia...

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[caption id="attachment_216480" align="alignleft" width="210" caption="Foto: http://foto.detik.com/readfoto/2008/09/22/165446/1010483/157/4/"][/caption]

Ramadhan sebentar lagi tiba. Kata guru ngaji saat saya masih kecil, Ramadhan adalah bulan di mana setan dibelenggu dengan rantai agar tidak mengganggu ibadah puasa. Petuah itu masih ditambahi ‘bumbu’ bahwa menjelang puasa setan dikejar-kejar oleh para malaikat. Tentu saja saya percaya bumbu tersebut, karena setiap menjelang bulan puasa selalu saja ada suara petir yang menggelegar, suara cambuk malaikat yang sibuk mengejar-ngejar setan. Otak saya yang masih dalam taraf pertumbuhan tentu belum kenal ilmu meteorologi atau geofisika, juga pengetahuan tentang kalender Islam dimana Ramadhan datang saat musim hujan dan kemarau secara bergantian.

Dulu dan sekarang tentu berbeda. Perubahan banyak terjadi di bidang sosial, politik, ekonomi, infrastruktur, apalagi perubahan pada diri saya sendiri, usia misalnya. Ramadhan di zaman youtube dan facebook ini tidak lagi identik sebagai bulan di mana malaikat lembur mengejar setan. Di beberapa daerah, kabupaten atau kota, yang sibuk justru aparat yang giat melakukan razia –bukan kepada setan tentunya- melainkan gelandangan, pengemis atau mereka yang masuk kelompok ‘penyakit masyarakat’, pekerja seks komersial. Selain oleh polisi pamong praja yang tangguh-tangguh itu, razia juga dilakukan oleh ormas keagamaan yang anggotanya adalah orang-orang yang saleh dan tinggi ilmu agamanya, paling tidak saya lihat dari kopiah dan jubah mereka yang putih-putih dan tebal jenggotnya.

Hati saya yang tidak setangguh dan segarang Satpol PP itu mudah trenyuh ketika layar televisi menayangkan wajah-wajah nestapa para gepeng –akronim untuk gelandangan dan pengemis yang badannya benar-benar kurus gepeng itu- dan PSK saat meronta diangkut ke dalam truk terbuka. Makin menjadi-jadi rasa nyeri di dada melihat sebagian dari mereka yang diuber polisi pamong praja adalah manula ringkih dan renta, atau ibu-ibu yang menggendong anak balita. Agar kehadiran gelandangan, pengemis atau PSK agar tidak mengganggu kekhusyukan menjalankan ibadah di bulan Ramadhan, bagitu alasan aparat pemerintah kabupaten dan kota atau dalil yang dijadikan dasar anggota ormas keagamaan itu saat melakukan razia.

Inilah ironi di negeri yang ber’Ketuhanan yang Maha Esa’, ber’kemanusiaan yang adil dan beradab, serta ber’keadilan sosial bagi seluruh rakyat..’ nya ini. Capek rasanya menghitung berapa kali kaum lemah di negeri ini dinistakan hak dan martabatnya. Setelah hak ekonomi, sosial dan budaya mereka dirampas dengan tidak mendapat pelayanan administrasi, kesehatan atau pendidikan yang memadai atau tidak memiliki penghidupan serta pekerjaan yang layak, mereka juga masih mengalami penistaan dengan dianggap sebagai ‘pengganggu’ urusan ibadah orang lain.

Ilmu saya tentulah tidak setinggi para ustadz apalagi Habib yang menyeru mengajak kebaikan dan mencegah kemunkaran (amar ma’ruf nahi munkar) sambil berteriak-teriak mengacungkan kepalan tangan tersebut. Gelar habib yang mulia itu sudah cukup membuat saya manggut-manggut karena gelar tersebut dimiliki oleh mereka keturunan Muhammad, nabi agung yang akhlaknya mulia dan begitu mencintai kaum miskin itu. Apalah artinya dibanding saya yang hanya keturunan umatnya saja. Maka kalau saya menyimpulkan bahwa razia gepeng dan PSK adalah paradoks dengan inti pesan dari Ramadhan itu adalah karena ngaji saya yang hanya sampai pada ayat Al Quran surat Al Baqarah ayat 183 yang mewajibkan umat Islam berpuasa untuk menambah iman dan taqwa. Ngaji saya barangkali belum sampai pada ayat yang memerintahkan penegak hukum dan ahli ilmu merazia pengemis dan gelandangan karena bisa mengganggu kekhusyukan ibadah puasa. Kalau ada yang tahu ayat tersebut, tolong kasih tahu saya.

Islam adalah agama yang berpihak pada kemanusiaan, lebih khusus lagi adalah agama yang berpihak pada kaum mustadh’afin atau kaum lemah dan tertindas. Begitu yang saya dapat dari banyak diskusi, bergaul atau membaca buku-buku karangan orang-orang saleh dan lebih bijak ilmunya dibanding saya. Keyakinan tersebut saya pegang erat sampai saat ini. Itulah sebabnya Nabi lebih senang duduk dan bergaul dengan anak yatim dan fakir miskin ketimbang makan siang atau kongkow di kafe dan hotel mewah dengan para bangsawan dan orang kaya di Arab pada waktu itu.

Dari hasil ngaji dengan banyak orang juga yang membuat saya tidak sekedar memahami Ramadhan adalah bulannya setan dicambuki dan dirantai malaikat di neraka sebagaimana dikatakan guru ngaji saya di kampung dulu. Puasa tidak sekedar menahan lapar dahaga dari pagi sampai petang selama satu bulan penuh, tetapi yang menjadi pesan inti puasa adalah pengendalian nafsu duniawi yang berlebihan dan ritual untuk memupuk solidaritas sosial, utamanya kepada mereka yang perutnya kelaparan setiap jam, hari, dan bertahun-tahun lamanya. Meski godaan berlimpah mengelilingi, namun kalau iman kita kuat dan niat kita ikhlas, puasa tentu bisa ditunaikan dengan nikmat dan khidmat.

Tentu karena tulisan ini berhubungan dengan Ramadhan, maka ada baiknya untuk menjaga emosi dan tetap mengedepankan prasangka yang baik ketimbang yang buruk. Barangkali inilah berkah Ramadhan yang mulia. Penguasa kabupaten atau kota yang memiliki ide menguber-uber merazia para gepeng dan PSK tentu karena mereka juga ingin ikut memeriahkan datangnya bulan Ramadhan, agar mereka tidak hanya dicap hobi korupsi saja. Para anggota satpol PP yang gagah trengginas itu tentu juga ingin meraup pahala dari menjaga kesucian bulan puasa, agar mereka tidak hanya diingat keberingasannya saat menguber-uber pedagang kaki lima.

Apalagi mereka yang menertibkan tempat hiburan malam dengan pentungan dan kepalan tangan. Untuk menjaga kesucian bulan Ramadhan dan umat Islam bisa beribadah puasa dengan tenang, bukankah mereka menjalankan tugas yang mulia? Tidak semua orang sanggup melakukannya. Butuh orang berilmu agama tinggi, hafalan haditsnya ratusan, atau paling tidak ada bau timur tengah di namanya.

Kalau anda ingin protes, menggeruduk kantor pemerintahan dan menyerukan agar penguasa lebih baik mengentaskan rakyat dari kemiskinan sehingga tidak ada lagi gepeng dan PSK ketimbang mengejar-ngejar mereka, itu berarti anda menyepelekan kemampuan mereka untuk urusan kesejahteraan. Mereka tentu lebih tahu cara bagaimana membuat orang lain sejahtera, tidak hanya diri sendiri, tetapi juga orang lain di sekitarnya. Paling tidak dilihat dari anak turun dan kerabat mereka. Ini bukan soal mereka egois atau oportunis, tetapi bagian dari filosofi kesejahteraan, yakni sejahteralah sebelum menyejahterakan orang lain.

Kalau sampeyan berani ceramah bahwasanya dakwah yang baik adalah mengajak orang menuju kebaikan tanpa kekerasan, ingat seberapa dalam ilmu agama atau seberapa panjang jenggot yang sampeyan miliki, berani-beraninya mendebat mereka yang konon keturunan nabi. Lagipula dakwah, ibadah dan pahala adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar. Urusan akhirat harus diutamakan, menumpuk pahala -apalagi di bulan Ramadhan- tidak bisa diganggu gugat, kalau perlu segala macam penghalang harus disingkirkan. Sampeyan pasti dianggap tidak faham kalau Islam adalah agama yang mencintai kebersihan, sehingga beribadah tentu lebih afdol tanpa para gelandangan dekil yang datangnya saja tidak diketahui entah dari mana.

Berbaik sangka, mengedepankan akal sehat dan menjernihkan nurani itulah satu-satunya yang bisa kita lakukan sebagai manusia normal dan waras. Yang juga lebih penting adalah berdoa kepada Allah, yang yang pangkatnya melebihi semua jabatan di seluruh semesta –RT, lurah, camat, bupati, menteri, presiden, Sekjen PBB- dan ilmunya melebihi semua buku, teori, seminar dan fakultas yang ada di universitas di seluruh dunia,.

Kira-kira apa isi doa anda? Kalau saya berdoa semoga penguasa dan orang alim di negeri ini yang masih menganggap gelandangan adalah ‘penyakit’ yang harus diberantas atau sampah yang mengganggu pemandangan atau benalu yang harus dicabut habis dari pohonnya tidak gantian dikejar-kejar malaikat dan dirantai di neraka…

semarang, 5 agustus 2008

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline