Lihat ke Halaman Asli

Yang Terlupakan dari Petani

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14132730602132241748

[caption id="attachment_347738" align="aligncenter" width="465" caption="www.republika.co.id"][/caption]

Jika secara obyektif kita melihat kehidupan petani, maka akan mengurai kesimpulan pada diri kita bahwa "SANGAT MENYEDIHKAN". Bayangkan dari seluruh waktu, pikiran dan tenaganya di curahkan dan dihabiskan untuk mempertahankan kehidupanya sebagai petani pangan dan lainya. Pada saat yang sama mereka harus menanggung beban biaya hidup yang cukup berat dengan bertambahnya jumlah keluarga bersama berbagai tuntutanya, sementara income (pendapatan) mereka tidak terlalu besar untuk memenuhi melambungnya kebutuhan hidup.

Seiring dengan perjalanan usahatani mereka,petani juga dihadapkan pada kurang kooperatifnya harga hasil alam mereka terutama produksi pangan semisal gabah. Hal ini ditambah dengan pengusaaan atau kepemilikan lahan mereka ayang relatif kecil, sehingga hasil produksinya hanya mampu untuk memenuhi konsumsi rumah tangga, selebihnya harus mencari sumber penghasilan dari aktivitas diluar pertanian. Sungguh mereka harus terdampar dan terpaksa menikmati aktivitas hidup mereka ditengah tengah himpitan dan kesulitan akses pasar.

Sementara itu masyarakat kota yang jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan masyarakat desa selalu dan teriak jika harga harga pangan meningkat, padahal akibat dari kenaikan tersebut tidak sama sekali dirasakan oleh petani namun dinikmati oleh segelintir orang yang bermanuver di pasar dengan kekuatan modalnya melalui permainan supply dan demand produk produk pertanian. Semisal impor beras yang dilakukan beberapa pihak ditengah tengah panen raya sedang di tunjukkan petani,sehingga harga gabah dalam negeri dalam tekanan/serbuan beras impor. Sehingga petani kurang mendapatkan harga yang layak. Sungguh orang kota atas desain orang orang tertentu telah ikut serta menyurutkan keinginan sejahtera masyarakat desa/petani.

Sementara pemerintah melalui kebijakan anggaranya menginginkan petani tetap menjadi mesin produksi dan mempertahankan aktivitasnya sebagai penolong orang orang kota agar tetap bisa makan dengan jumlah yang cukup dan harga yang murah. Namun, sepertinya pemerintah kurang sepenuhnya berpihak pada petani namun lebih nyaman dan berpihak pada pelaku pasar yang kuat secara kapital. Jika boleh meminjam, petani dalam "EKSPLOITASI", untuk meraup keuntungan jangka panjang.

Dimanakah para pembela petani?

Dan sampai kapankah nasip petani selalu akan terus begitu?

Mari kita renungkan, apakah benar ada yang masih sungguh sungguh dan jujur hidup bersama petani kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline