Pengelolaan pembangunan pertanian dimasa mendatang akan dihadapkan pada permasalahan teknis yang semakin sulit. Hal tersebut sangat beralasan karean selama ini pengelolaan sumber daya sektor pertanian selain belum maksimal juga masih belum mempertimbngan keberlanjutan kelestarian ingkungan dan kualitasnya. Kerusakan lingkungan sangat identik dengan pelanggaran yang dilakukaan secara sistemik oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, untuk itu perlu diluncurkan regulasi dalam upaya mencegah kerusakan lingkungan tersebut dan menjamin kualitasnya dimasa mendatang. Namun regulasi tersebut secara operasional harus menguntungkan berbagai pihak dan tidak menimbulkan masalah baru dalam sektor pertanian baik secara sosial dan ekonomi.
Kerusakan lingkungan akibat kebakaran pada lahan gambut selalu dituding sebagai sumber penyebab utama kebakaran lahan dan hutan. Namun, langkah pemerintah dalam memulihkan ekosistem gambut justru ditentang para pengusaha, akademisi dan beberapa kepala daerah di Sumatera dan Kalimantan yang selama ini mengandalkan gambut sebagai sumber pendapat untuk usaha tanaman perkebunan berprospek tinggi dimasa mendatang.
Peraturan Pemerintah (PP) No 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, yang dimotori oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hingga kini masih menuai polemik pro dan kontra oleh berbagai pihak terutama pihak swasta yang bergerak di bidang pengembangan tanaman industri perkebunan terutama kelapa sawit. Tidak hanya para pelaku usaha Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Perkebunan Kelapa Sawit saja yang merasa dirugikan, namun Kementerian Industri RI merilis dampak besar perekonomian dan sosial jika aturan tersebut tetap dipaksakan. Data Kementerian Perindustrian menyatakan bahwa, total investasi industri hulu dan hilir usaha kehutanan dan investasi industri hulu dan hilir usaha perkebunan dibiayai oleh pinjaman dalam negeri senilai Rp 83,75 triliun dan luar negeri senilai Rp 193,57 triliun
Hasil dari investasi itu, kedua sektor ini bisa memberikan kontribusi langsung dan tak langsung bagi negara. Seperti industri HTI atau Pulp (kertas) memberikan kontribusi berupa Pendapatan Negara Berupa Pajak (PNBP) yang mencapai Rp 42,5 Triliun. Selain itu, HTI juga berkontribusi memberikan efek ganda pada karyawan dan kegiatan ekonomi masyarakat Rp 36,3 Triliun dan investasi usaha termasuk UMKM sebesar Rp 442 Triliun. Demikan halnya dengan industri perkebunan kelapa sawit yang menyumbang Rp 79,5 triliun untuk PNBP, Rp 9,4 triliun untuk efek ganda pada karyawan dan kegiatan ekonomi masyarakat dan Rp 112 triliun bagi investasi usaha termasuk UMKM di Indonesia.
Ada beberapa hal yang harus dijawab oleh pemerintah dan pemangku kepentingan sebelum PP ini diterapkan. Salah satunya, dampak yang terjadi, terutama petani dan pekerja yang bakal kehilangan pekerjaan bagi masyarakat jika PP ini diberlakukan tanpa peninjuan ulang. Harus ada mitigasi dampak, seperti para petani dan pekerja yang terancam kehilangan pekerjaan, setelah tidak lagi bertani dan di PHK, apa pekerjaan yang disiapkan oleh pemerintah, kalau tidak akan jadi masalah baru, pengangguran akan bertambah. Program tata kelola gambut harus bisa menjamin bencana kabut asap yang terjadi 2015 lalu di Indonesia tidak terjadi lagi. Apakah ada jaminan PP ini berlaku bencana asap tidak terjadi lagi kedepannya?
Selanjutnya yang paling krusial dari pemberlakuan PP tersebut adalah penyediaan lahan pengganti bagi perusahaan ataupun petani. Hal ini harus terjawab dulu, kalau lahan baru ini digarap tentu bisa terjadi lagi aktifitas ilegal logging. Kompensasinya juga, itu harus dihitung secara matang. Jika hal tersebut terjawab berlakukan PP gambut tidak menjadi masalah. Pada sitsuasi lain, potensi kerugian cukup besar tengah menanti jika PP ini diberlakukan. Potensi kredit macet dalam dan luar negeri yang dapat menurunkan rating investasi kearah negatif bisa mencapai Rp 277 triliun.
Disamping itu potensi dan ancaman PHK juga menanti 600 ribu pekerja sebagai dampak langsung aturan ini. Begitu juga dengan dampak tak langsung yang dirasakan pelaku UMKM yang selama ini hidup dari industri Pulp dan Kelapa Sawit yang berjumlah 6,2 juta orang. Kemudian selanjutnya lebih 20 juta orang yang menjadi tanggungan pekerja akan ikut terkena dampak dari kebijakan ini. Begitu juga dampak kerugian investasi yang didalamnya juga terdapat UMKM bisa mencapai Rp 554 Triliun. Dampak ini tentunya tersebab lebih 50 persen pasokan bahan baku kedua industri ini hilang, perusahaan memangkas biaya operasional karena merugi, dan jumlah karyawan pasti akan dikurangi.
Menyikapi dari dampak PP 57 tersebut ada beberapa kritisi sekaligus sebagai bahan pertimbangan sebelum bergulir lebih lanjut agar dikemudian hari PP ini tidak menimbulkan masalah jangka panjang. Pertama, Pemegang izin HTI dan Kebun Kelapa Sawit diatas areal gambut masih diizinkan untuk melakukan aktifitas budidaya dengan syarat mengimplementasikan/menerapkan teknologi terbaru atas tata kelola air gambut yang meminimalisasi emisi karbon dan mengantisipasi kebakaran lahan, Kedua, Revisi PP nomor 71 tahun 2014 jo PP nomor 57 tahun 2016, Pasal 9 ayat (3) menjadi "Menteri wajib menetapkan fungsi lindung Ekosistem Gambut seluas 30 persen dari luasan setiap kubah gambut yang letaknya dimulai dari Puncak Kubah Gambut", Ketiga,Pasal 9 ayat (4) agar dihapuskan, telah diatur di usulan Pasal 9 ayat (3). Pasal 23 ayat (3) menjadi "Ekosistem gambut dengan fungsi budidaya dinyatakan rusak apabila tinggi muka air tanah di lahan Gambut lebih dari 0,8 (nol koma delapan) meter di bawah permukaan gambut pada titik penataan," Keempat, Mengevaluasi seperangkat Peraturan Menteri LHK yang tidak sejalan dengan PP yang telah diterbitkan, Kelima,Implementasi perubahan fungsi budidaya menjadi fungsi lindung gambut agar dilaksanakan setelah dapat dipastikan tersedia 'Land Swap' yang telah terverifikasi, dan Keenam,Regulasi terkait lahan gambut ini hendaknya tidak bersifat retroaktif dan dapat diterapkan hanya untuk para investor baru.
Pemerintah memastikan tidak akan merevisi Peraturan Pemerintah No. 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan usulan revisi beleid tersebut juga tidak dibahas dalam rapat koordinasi terbatas tentang evaluasi peraturan tentang lahan gambut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H