Perkebunan merupakan subsektor yang berperan penting dalam perekonomian nasional melalui kontribusi dalam pendapatan nasional, penyediaan lapangan kerja, penerimaan ekspor, dan penerimaan pajak. Dalam perkembangannya, subsektor ini tidak terlepas dari berbagai dinamika lingkungan nasional dan global. Perubahan strategis nasional dan global tersebut mengisyaratkan bahwa pembangunan perkebunan harus mengikuti dinamika lingkungan perkebunan. Fokus kegiatan penelitian dan pengembangan perkebunan harus mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi perkebunan selain mampu menjawab tantangan-tantangan globalisasi.
Selain itu sub sektor perkebunan mempunyai peran yang cukup strategis dalam (sumbangannya terhadap) peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia melalui perannya secara ekonomis, ekologis dan sosial budaya dalam pembangunan nasional. Secara ekonomi perkebunan berfungsi meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat serta penguatan struktur ekonomi wilayah dan nasional melalui sumbangannya terhadap pendapatan petani, wilayah maupun devisa negara, secara ekologi berfungsi meningkatkan konservasi tanah dan air, penyerap karbon, penyedia oksigen dan penyangga kawasan lindung yang melindungi sumberdaya alam dan lingkungan hidup, dan secara sosial budaya berfungsi sebagai perekat dan pemersatu bangsa, serta sebagai penyedia lapangan kerja.
Namun secara teknis upaya pengembangan produksi dan peningkatan daya saing sektor perkebunan tersebut bukan pekerjaan yang mudah, berbagai kendala menghadang terutama dari aspek dukungan regulasi daerah dan budaya masyarakat dalam berusahatani (rendahnya adopsi teknologi). Pemerintah daerah dihadapkan pada berbagai kepentingan dalam pembangunan sektor, yaitu terkait pilihan prioritas alokasi anggaran pembangunan. Regulasi terkait pilihan prioritas pembangunan sektor inilah yang menjadi kendala mengapa pembangunan sektor perkebunan cenderung melamban dan belum menjadi handalan sekaligus penyumbang fiskal daerah.
Pilihan pilihan penekanan sektor masih didasarkan pertimbangan besar dan kecilnya alokasi anggaran daerah, belum sampai pada kajian dan perencanaan jangka panjang yang matang dan terintegrasi dengan sektor sektor lainya, sehingga pertumbuhan sektor terutama pertanian khususnya perkebunan belum optimal hasilnya. Untuk itu pemerintah daerah melalui kebijakannya harus sudah memeperbaiki paradigma terhadap pendekatan pembangunan perkebunan dimasa mendatang, yaitu menjadi prioritas sektor dan mendapatkan alokasi anggaran yang memadai. Tentu harus didukung dengan pengelolaan hulu dan hilir yang baik, sehingga nilai tambah yang dirasakan petani sangat besar. Industrialisasi sektor perkebunan harus menjadi pilihan, sehingga berdampak pada nilai tambah/peningkatan devisa daerah.
Masalah berikutnya yang sering terlupakan adalah kararkter atau kondisi sosial masayarakat/petani perkebunan. Dalam proses usahataninya mereka dihadapkan pada kendala harga jual (relatif fluktuatif) dan harga input produksi yang mahal, misalnya pupuk. Nilai tukar/daya saing petani relatif rendah akibat pendapatan yang diterima petani tidak memadai dari hasil produksinya, sehingga hal ini membuat petani mengambil sikap spikulasi dalam mempertahankan usahataninya yaitu berinteraksi dengan pedagang yang notabene sebagai tengkulak/pemberi fasilitas keuangan dengan bunga tinggi. Model ini hampir rata rata terjadi bagi petani perkebunan. Ketergantungan terhadap rentener/sekaligus tengkulak tersebut membuat petani sangat tergantung dengan mereka, sehingga harga jual produksi mereka relatif lebih murah harga julanya dibandingkan harga sesungguhnya. Sehingga dengan kondisi ini petani tidak akan pernah keluar dari masalahnya, bahakan akan semakin lemah posisinya. Ide digulirkanya Bank petani dan Koperasi menjadi salah satu pilihan pembiayaan terhadap petani, namun kebijakan inipin belum berjalan optimal dan menemui berbagai kendala.
Masalah berikutnya yang dihadapi petani selain modal adalah tingkat perubahan usahatani mereka yang belum mengoptimalkan peran dari teknologi sebagai pemicu peningkatan produktivitas. Tingkap adopsi petani perkebunan terhadap teknologi (perbenihan/bibit, pola pengelolaan dan pasca panen) masih relatif rendah. Keterbatasan akses mereka terhadap teknologi dan masih minimnya upaya pemerintah/penyuluh untuk mendiseminasikan teknologi terbarunya juga memnjadi kendala. Untuk itu perlu upaya upaya khusus dan masif dalam melakukan perubahan paradigma petani tersebut oleh pemerintah.
Jika 2 aspek penting tersebut tidak segera dilakukan perbaikan dan langkah langkah kongkrit mulai dari tingkat pusat hingga daerah, maka sangat dimungkinkan pertumbuhan sektor perkebunan terutama perkenuban rakyat akan mengalami ketimpangan pendapatan dan daya saing global. Belum lagi masalah perkebunan dan perluasan areal tanamnya dihadapkan oleh konversi lahan baiak untuk pertumbuhan industri barang/jasa dan pengembangan perumahan. Kebijakan harus mengarah dan mampu menjamin eksistensi sektor perkebunan ke depanya. Pemerintah harus mampu mengeluarkan kebijakan/regulasi terkait penanganan sektor perkebunan melalui pendekatan teknologi, nilai tambah, pasca panen dan keterjaminan harga di tingkat petani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H