Pemerintahan era SBY sangat konsen dengan pertumbuhan ekonomi dan upaya pengentasan kemiskinan dengan menempuh perbaikan pengelolaan kebijakan fiskal dan moneter sekaligus meperbaiki tata kelola kebijakan mikro dan makro. Pengelolaan anggaran berbasis kinerja dan output tidak terlepas dari akuntabilitas sehingga interaksi antar sektor mampu di monetoring dengan baik. Namun capaian yang dinginkan tersebut relatif belum meuaskan karena keterbatasan anggaran pembangun seiring dengan pertumbuhan devisa yang kurang signifikan dengan hambatan resesi ekonomi internasional.
Dalam upaya membangun sistem perekonomian transmisi makro ke mikro di era SBY relatif lebih terarah dan terukur output yang ingin dicapai, sehingga masing masing sektor berada dalam kenyamaman pergerakannya. Pondasi yang telah dibangun pemerintahan sebelum Jokowi sebagai modal kuat untuk keberlanjutan pembanguna berikutnya dengan catatan, bahwa kapasitas fuskal masih menjadi hambatan utama untuk membiayai pembangunan. Untuk itu pemerintah berikutnya perlu bekerja keras untuk kreatif dan mampu mengelola instrumen instrumen pembangunan dengan baik sehingga mampu memberikan genjotan devisa negara sebagai sumber pembiayaan pertumbuhan.
Tentu secara geografis Indonesia sudah ditakdirkan menjadi wilayah agraris terbentang dari sabang hingga merauke sektor pertanian, perikanan, kehutanan dan perkebuanan mendominasi sumber sumber devisa negara. Semasa orde baru sektor pertanian menjadi kebanggaan dan andalan pemerintah untuk meningkatkan sumber devisa dan pendapatan masyarakat. Demikian halnya di negara negara maju awal pijakan pembangunan negaranya mulai dari penganganan serius sektor pertanian tidak hanya daya dukung anggaran, SDM dan Infrastruktur namunjuga daya dukung teknologi (pra panen dan pasca panen) serta pasar. Sehingga sektor pertanian menjadi sumber utama pertumbuhan dan terakumulasi menjadi devisa utama kemudian di transformasi devisa tersebut untuk pembiayaan sektor sektor lainya, seperti industri dan jasa.
Seharusnya Indonesia harus belajar dari negara lain dalam melakukan desain/perencanaan pembangunan hingga menjadikan sektor pertanian sebagai leading sektor. Pengelolaan yang serius itulah yang kemudian menjadi daya tarik tersendiri bagi generasi penerusnya untuk bertahan dan menikmati bekerja di sektor pertanian.
Peran riset dan teknologi dengan daya dukung kebijakan anggaran yang memadai adalah langkah awal yang bisa di tempuh oleh pemerintah Indonesia. Alokasi anggaran yang sekarang digunakan untuk pembangunanpertanian masih kurang dari 10% dari total seluruh APBN. Anggaran sebesar itu masih kurang dari cukup jika kaitkan dengan tingkat kebutuhan nasional. Anggaran pertanian habis untuk alokasi belanja rutin/operasional birokrasi dan untuk insentif beberapa kebutuhan input produksi tertentu melalui mekanisme subsidi, bansos dan bantuan lainnya. Intinya anggaran sektor pertanian hanya mampu mengcober sektor hulu (budidaya) belum mampu mengcover sektor hilir (pasca panen dan pasar). Jika mekanisme ini masih berjalan, maka dimungkinkan sektor pertanian tidak akan mampu berkembang dengan baik apalagi untuk emberikan kontribusi besar terhadap PDRB nasional. Teknologi tidak sepenuhnya mampu menjawab permasalahan sektor pertanian, karena permasalahan yang sebenarnya adalah tingkat pendapatan petani yang relatif rendah akibat dari nilai tambah yang relatif kecil.
Untuk itu penanganan dan pengelolaan sektor pertanian ke depan harus mempertimbangan aspek hulu dan hilir secara bersamaan. Permasalahan hulu sudah mendapatkan posisi yang tepat walaupun amasih ada sedikit permasalahan dari ketersediaan dan distribus serta harga input produksi dan hal tersebut mampu diselesaikan dengan kebijakan/regulasi sistematis dan terkontrol. Namun permasalahan hilir masih banayak permsalahan/pekerjaan rumah dan di sinilah banyak pihak yang bermain dan mengambil keuntungan besar dan pemerintah kurang kuasa untuk mengotrol dan mengendalikanya secara baik dan efektif.
Belum lagi bicara soal koordinasi/interaksi masing-masing sektor dalam upaya membangun sinergi dalam pembangunan. Dalam hal ini di Indonesia masih sangat rendah perjalanannya, bahkan terkesan tumpang tindih dan berjalan masing masing masing. Inilah yang membedakan negara lain dengan Indonesia dalam mengelola pembangunan.
Angka yang dirilis oleh BPS menunjukkan dari 17 sektor ekonomi, terdapat lima sektor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi RI kuartal I/2015. Sektor sektor tersebut adalah: (1) Industri, (2) Pertanian, (3) Kehutanan, (4) Perdagangan, dan (5) Kontruksi.
Sektor Industri manufaktur, termasuk migas memiliki peran penting karena mengalami pertumbuhan meski tidak terlalu besar. Industri pengolahan memiliki kontribusi sebesar 21,14%. Manufaktur (termasuk migas) tumbuh 3,78%. Migas memang sedang turun makanya terkerek ke bawah. Ini lebih rendah dibanding year on year 2014 yang tumbuh 4,15%. Sektor pertanian dan perhutanan dengan 13,75%. Sektor tersebut tumbuh 3,8% namun turun dibanding 2014 yang sebesar 5,28%. Ini turun karena ada pergeseran masa tanam, jika tahun lalu kan tidak ada pergeseran masa tanam.
Sektor perdagangan besar menyumbang 13,24% atau tumbuh 3,66%. Namun lagi-lagi angka ini turun secara year on year dari 2014 yang sebesar 6,11%. Ini merupakan dampak kalau industri pertanian itu turun, barang yang diperdagangkan juga turun. Impor turun akan berdampak juga ke perdagangan.Berikutnya adalah sektor konstruksi dengan angka 9,98% dan tumbuh 6,04% serta di posisi kelima yaitu tambang dan penggalian dengan angka 8,83%.
Kelima sektor ini memberikan peran sebesar 66,64% untuk share-nya. Maka keseluruhan dari mereka menghasilkan nilai pertumbuhan ekonomi nasional di angka 4,71% year on year.