Lihat ke Halaman Asli

Bocoran “Soal” Ujian Nasional

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ujian Nasional bukan merupakan barang baru lagi bagi siswa dan siswi di Indonesia. Meski sempat beberapa kali berubah nama, namun substansinya tetap sama. Yaitu sebagai standarisasi kelulusan siswa se-Indonesia. Karena UN mungkin dianggap satu-satunya jalan terbaik untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Buktinya sampai detik ini UN masih eksis dilaksanakan. Namun sekian tahun berjalan. Mulai dari saya SD sampai sekarang duduk di bangku kuliah, pendidikan Indonesia tetap gitu-gitu aja. Alih-alih mau memperbaiki pendidikan, malah kenakalan remaja yang mengatasnamakan dirinya pelajar semakin meraja lela. Sampai-sampai Indonesia disebut-sebut sebagai negara yang lagi dilanda krisis yang sangat memalukan dan mengkhawatirkan melebihi krisis ekonomi global, yaitu krisis akhlak dan moral. Atas dasar ini, maka sudah sepatutnya kita tanyakan kepada diri kita sebagai pengenyam pendidikan ala Indonesia, benarkah sengan sistim pendidikan seperti ini, kita itu betul-betul dididik? Seberapa banyak pendidikan yang di dapat di lembaga “pendidikan” Indonesia? Dan kalaupun ada, seberapa membekaskah pendidikan itu, hingga kita akan selalu berperilaku baik? Atau jangan-jangan yang terjadi di lembaga “pendidikan” Indonesia itu hanya transformasi informasi saja? Kembali kepada masalah UN. Akhir-akhir ini banyak kalangan yang menyuarakan sekaligus mempertanyakan kembali efesiensi dan manfaat UN. Karena mengingat hasil yang diperoleh dari UN itu sampai sekarang masih belum mencapai tujuan, yaitu standarisasi pendidikan. Malahan yang ada justru “dikotomi” pendidikan antara sekolah-sekolah di perkotaan dengan sekolah yang terletak di pelosok-pelosok daerah. Bagaimana tidak, dengan fasilitas dan kemampuan tenaga pengajar yang berbeda-beda di tiap sekolah dan daerah, standarisasi kelulusan siswa justru lebih dulu “dipaksakan”. Pertanyaannya adalah, jelas-jelas hasil yang diperoleh dari UN sungguh sangat tidak memuaskan, lantas mengapa UN tetap dipertanyakan? Meski hanya sebatas analisa, namun kecendrungan adanya permainan bisnis dan tander besar dari pengadaan UN ini sepertinya bisa menjadi sebab utama untuk menjawab pertanyaan di atas. Contoh kecilnya “bisnis” pensil 2B dan penggaris ujian, jika itu diwajibkan kepada seluruh siswa-siswi se-Indonesia, apakah itu bukan sumber duit? Belum banyaknya dana yang habis untuk kepanitiaan, sosialisasi, pengawasan, dan lain sebagainya. Coba kita pikirkan dengan akal sehat kita yang sesehat-sehatnya, apakah mungkin dan pantas kelulusan siswa-siswi yang belajar 3 tahun bahkan lebih, hanya ditentukan dengan 5 mata pelajaran? Hanya ditentukan dalam waktu 3 hari ujian? Hanya ditentukan berdasarkan hitam di atas putihnya lembar jawab? Tidakkah penilaian moral lebih penting dari nilai ujian? Tidakkah pendidikan itu lebih diutamakan dari pengajaran? Jika jawabannya tidak, maka sebaiknya lembaga “pendidikan” Indonesia dirubah namanya menjadi lembaga pengajaran dan transformasi informasi saja. Pertanyaan terakhir, apakah sebenarnya memang sudah tidak ada lagi jalan lain yang lebih baik untuk memajukan pendidikan di Indonesia selain dengan cara UN? Saya rasa jawabannya tentu saja ada. Dan pastinya orang-orang “pintar” di atas sana lebih mengetahuinya. Hanya saja mereka masih belum tergerak untuk melakukan reformasi pendidikan di negara kita tercinta ini. Semoga saja pendidikan kita semakin baik.Wallahu’alam[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline