Lihat ke Halaman Asli

Uniknya Slow Living di Kota Padang

Diperbarui: 16 Januari 2025   19:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Saya sudah beberapa kali mengunjungi Kota Padang, dan setiap kunjungan selalu memberikan pengalaman yang berkesan. Kota ini punya cara unik untuk membuat saya merasa rileks dan terhubung dengan kehidupan. Suasana santai, keindahan alam, dan kekayaan budaya selalu mengundang saya kembali. Tidak seperti kota-kota besar yang penuh hiruk-pikuk, Padang mengajarkan saya arti dari slow living hidup yang lebih lambat, tetapi penuh makna.

Setiap kali saya tiba di Padang, Pantai Padang selalu menjadi destinasi pertama saya. Pantai ini memiliki tempat khusus di hati saya. Pagi-pagi sekali, saya suka berjalan kaki menyusuri pasir putihnya sambil menikmati semilir angin laut. Suara ombak yang berkejaran dan aroma khas laut membuat pikiran saya terasa lebih ringan. Tidak jauh dari pantai, saya sering membeli teh talua dan lontong sayur dari pedagang setempat. Duduk di bawah pohon kelapa sambil menyantap makanan sederhana ini adalah pengalaman yang selalu saya rindukan.

Di siang hari, saya biasanya menjelajahi kuliner khas Minang yang legendaris. Rendang menjadi salah satu makanan yang wajib saya cicipi setiap kali ke Padang. Saya selalu terpukau dengan kelezatannya. Rendang ini bukan sekadar makanan; ada cerita dan filosofi di baliknya. Saya pernah mendengar dari seorang teman di sana bahwa rendang dulu dibuat oleh nenek moyang masyarakat Minang sebagai bekal bagi perantau. Proses memasaknya yang lama mencerminkan kesabaran dan ketekunan. Setiap gigitan rendang di Padang terasa lebih otentik, mungkin karena di sinilah hidangan itu berasal.

Selain rendang, saya selalu menyempatkan diri makan Nasi Kapau. Salah satu favorit saya adalah warung Nasi Kapau di Pasar Raya Padang. Penjualnya dengan cekatan mengambil lauk dari baskom besar menggunakan sendok panjang. Gulai nangka, dendeng batokok, dan sambal lado menjadi kombinasi yang selalu memanjakan lidah saya. Saya juga suka mendengar cerita tentang asal-usulnya. Nasi Kapau ternyata berasal dari Nagari Kapau di Kabupaten Agam, dan kini telah menjadi ikon kuliner Minang.

Sore harinya, saya suka menghabiskan waktu di Bukit Gado-Gado. Dari puncaknya, pemandangan Kota Padang begitu memukau. Laut biru yang luas, hamparan rumah-rumah tradisional, dan pegunungan hijau membuat saya merasa damai. Saya sering duduk di sana cukup lama, membiarkan angin sore membawa semua penat saya.

Ketika malam tiba, Padang terasa semakin tenang. Biasanya, saya berkumpul dengan teman-teman di sebuah rumah tradisional sambil menikmati makanan ringan seperti kerupuk balado dan durian lokal yang manis. Obrolan santai dan gelak tawa menjadi pelengkap malam yang sempurna.

Setiap kali saya kembali ke Padang, saya selalu merasa seperti pulang ke rumah kedua. Kota ini mengajarkan saya untuk menghargai setiap momen kecil dalam hidup, dari menikmati keindahan alam hingga mencicipi makanan khas yang kaya akan sejarah. Slow living di Padang bukan hanya sekadar cara hidup, tetapi juga sebuah pengalaman yang menenangkan jiwa. Bagi saya, Padang adalah tempat di mana hidup terasa lebih indah dan bermakna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline