Sekolah, lembaga pendidikan formal yang mewajibkan setiap orang untuk menempuhnya demi masa depan, begitulah istilah saya. Mungkin sebagian dari kita masih dapat mengingat dengan detile kenangan suka dan duka waktu sekolah di zaman mareka masing-masing. Ada juga sebagiannya hanya mengingat beberapa hal penting yang menurut mereka menjadi kesan dan kenangan yang harus dijadikan sebagai batu loncatan menuju masa depan sebagai manusia berkualitas budi dan pekertinya.
Kualitas budi dan pekerti, hanya di dapat oleh generasi yang sekolahnya di tahun 1990an, bukan berarti di zaman generasi Z tidak mendapatkan ajaran demikian. Sekarang masih diajarkan tapi tidak semasif yang diajarkan pada kisaran tahun ajaran 1990an saat itu.
Hari ini, kompasiana mengajak semua kompasianer untuk mengenang kembali kenangan kita masing-masing di saat sekolah, ingat buku-buku apa saja yang paling disukai, atau sederetan kenangan-kenangan indah sebagaimana perjalanan kita (masa sekolah adalah masing paling indah). Banyak orang sukka dengan pernyataan demikian karena menurut mereka yang sekolah dengan fasilitas sudah memadai, sekolah di kota dan sejumlah kebahagiaan lainnya menjadi catatan penting bagi mereka.
Saya sendiri melihat ajakan kompasiana ini semacam pemaksaan menguras memori yang sudah berlalu. Bagaimana tidak?, saya tidak dapat mengingat dengan detil begitu banyak suka cita perjalanan sekolah di tahun 90an saat itu. Harus dengan energi ektra, benar-benar mekasa memori dalam kepala, berusaha merefresh isi kepala untuk dapat pulang pada kenangan-kenangan tahun 1900an yang sudha berlalu berpuluh-puluh tahun lamanya.
Kompasiana mengangkat teman "Buku kesayanganku saat anak-anak" bagi saya mengorek beberapa sisi yang harus saya tulis sebagai cerita tentang perjalanan saya dan sebagian dari kami yang sekolah di tahun 1990an dengan fasilitas yang minim di wilayah Timur Indonesia.
Kalian bisa percaya, bisa juga tidak percaya tentang banyak hal yang akan diceritakan oleh generasi 90an waktu mereka menempuh sekolah dengan fasilitas yang tidak memadai. Terutama saya pribadi lahir sebagai generasi 80an dan bisa bersekolah di kisaran tahun 1995 di bagian indonesia timur. Dari letak wilayah saja, pembaca sudah bisa menduga bahwa Indonesia timur saat ini, zaman dekarang ini pun pendidikannya masih terbengkalai apa lagi di zaman kami sekolah dulu tahun 1995 di bangku sekolah dasar.
Tidak ada fasilitas yang memdai seperti yang ada dalam pikiran teman-teman yang sekolah di kota-kota, makanya saya menjadi sedikit risih dan tema yang diangkat kompasiana diatas menggugah nurani untuk feedback kembali masa sekolah. Kami di indonesia timur semenjak indonesia merdeka 1945 hingga saat ini jalannya proses pendidikan masih begitu-begitu saja, jalan di tempat alias tidak ada perkembangan yang baik yang perlu kami banggakan.
Kompasiana memaksa saya untuk memutar kembali memori beberapa puluh tahun silam, di dalam isi kepala saya "Pendidikan dengan wajah yang sangat hitam" tidak menginspirasi anak-anak di Indonesia Timur karena tidak merata pelayanan dan fasilitasnya oelh pemerintah. Entahlah. Perbedaan akan terlihat ketika kita bercerita tentang masa sekolah kita di tempat masing-masing, suasana dan kenenagannya masing-masig. Kalau bisa di bilang, kenangan yang ada di waktu saya sekolah dulu adanya hanya "rasa pahit" tidak menikmati hakikat pendidikan yang sebenarnya.
Teman-teman yang lain menceritakan dengan indah kisah sekolah mereka, suka dengan buku, sekolah diantar orang tua, ada perpustakaan dll. Di timur indonesia tahun itu 1990an tidak ada fasilitas pendidikan yang bagus, jangankan buku yang paling kami sukai. Guru dan fasilitas bangunan sekolah saja masih dibangunan tua yang di bangun oleh orang-orang tua kami di kampung dengan modal gotong royong, bukan fasilitas pemerintah.
Disini, kita bisa tahu kalau pemerintah saat itu tahun 1990an menjangkau pendidikan di wilayah timur indonesia mungkin dua tahun sekali atau lima tahun sekali. Jadi, tidak ada yang bisa kami banggakan untuk sekolah kami di tahun 1990an di wilayah timur indonesia. Belum juga masalah lainnya, listrik dan fasiliatas transportasi membuat kami harus menempuh berkilo-kilo meter jauhnya bersekolah dengan jalan kaki.
Bagaimanapun, ini hanya terjadi sekali dalam kehidupan kami, itu menurut beberapa kenangan dan kisah kompasianer yang saya baca. Bagi kami, saya pribadi tidak ada kisah ini sekali yang di alami. Di indonesia timur masih mengalaminya, jadi ketidakmerataan pendidikan sampai saat ini adalah pengulangan kisah pahit yang kami lalui di tahun 1990an. Pendidikannya masih sama, fasilitas dan SDM guru, sejumlah fasilitas pendukung menjadi tidak tersalurkan dengan merata, bagaimana anak-anak disana mau menikmati fasilitas pendidikan seperti di kota-kota, ini realitanya.