"Di Samudera maha luas, harapan itu tidak bisa dibeli dengan hanya berbekal seadanya. Kita harus lebih giat lagi mendayun, mendayun perahu kita menuju laut lepas, menuju harapan yang sebenarnya. Pulang ketepian, bukan lagi membawa asa. Sebab pelaut tidak akan berhenti menghalau gelombang dari arah mana pun" Tutup penggalan kisah si pelaut yang masih ada dalam memori ingatanku.
November tahun ini, perlahan-lahan menuju akhir, tanggal 10 aku masih disini bersama sisa cerita lelaki tua si sahabat laut, cerita dibulan November yang sama dua tahun lalu.
Dengan mengenang kembali inci demi inci, perlahan lalu hilang diresap suara bising Kota Pahlawan. Iya, aku dan kenangan-kenangan dikota pahlawan menarik kembali beberapa harap yang di ceritakan si sahabat laut saat berpapasan dengannya dua tahun lalu dekat pantai tempat anak-anak bermain.
Aku bersama secarik cerita usang dari pelaut ulung yang setia bercengkerama dengan aroma dingin samudera yang maha luas dilaut Maluku dan Maluku Utara.
Sesekali berbisik, suara seakan tidak dapat didengar lagi. Melanjutkan kisah tentang ikan kecil yang liar, tentang gelombang utara yang mengguncang, tentang nasib anak-anak pelaut dari tahun ke tahun.
Aku tidak akan pernah melupakan bayang wajahnya, pesona raut muka bak diminyaki, efek panas dan uap samudera yang memanggang kulit setelah kian lama melaut.
Wajah, dengan rawut seperti ini tidak asing ditempat kami sebagai masyarakat pesisir. Aku ingat beberapa hal paling pilu dalam sejarah melaut yang di tuturkan oleh orang-orang tua yang ada di kampungku.
Waktu itu, suatu sore aku tanpa menggunakan sandal. Berjalan dengan kaki telanjang menuju pantai karang. Pantai eksotis dikampungku.
Karang-karang putih terbentang sepanjang pantai yang panjangnya kurang lebih 600m, pasir putih dan bibir pantai yang begitu indah. Seperti waktu masih kecil, tempat ini adalah rumah bagi kami anak-anak pesisir, anak-anak pelaut yang setiap hari tanpa sedikitpun lelah berlarian dan bermain dengan ombak yang membelah pantai.
Dibawah pohon rindang, angin masih terlalu kencang. Daun pisang disepanjang pantai sudah seperti dicabik-cabik, angin November tahun itu adalah kelam bagi pelaut. Sambil senyum pada si tua sahabat laut, aku bersalaman padanya. "Kakek, bagaimana kabarnya?"
Si tua sahabat laut dengan pendengarannya yang sudah tidak senormal anak-anak muda, kakek sambil mengulurkan tangannya bersalaman denganku.