Lihat ke Halaman Asli

Kronologi Terciptanya Puisi Sumbangku

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senja ini aku sendirian didalam kalut kebosanan, ku berniat ngopi disebuah warung pinggir kali untuk sekedar menyegarkan otak dari ketololan, sore itu ku langkahkan kaki tanpa berniat mengajak seorang kawan karena memang sedang ingin sendiri, sekitar lima menit aku berjalan dengan menikmati senja sampailah aku disebuah warung kecil, tak ingin aku membuang waktu ku pesan kopi hitam kental kesukaan ku, "kopi hitam agak kental tanpa gula mbak" sambil menyambar gorengan yg ada dimeja, "lho kok gak pake gula mas? Biasanya kan pake, emang kagak pahit?" Tanya sipenjaga warung sedikit heran, "aku baru sadar kalau yg buat kopi itu manis banget, kalau kopinya ditambah gula bisa kemanisan bisa kena penyakit gula darah aku,hehe" jawab ku sedikit menggoda, (berharap digratisi sich,hehehe), aku duduk dikursi depan warung dan menghadap kekali besar, disebrang tampak sebuah sekolahan dimana dulu aku mencari ilmu, dan dipinggirnya ada bangunan-bangunan lama, yaitu sebuah pesantren yg sedah cukup lama berdirinya.

Seperti biasa saat sore begini yang terlihat adalah sebuah kali besar yang banyak diabaikan, bahkan disakiti oleh masyarakat sekitar dengan membuang sampah disungai, mengambil batu dan pasir, bahkan hutan yang menjadi resapan air saja pada tahun-tahun kemaren senpat gundul tanpa sebatang pohon pun yang berdiri, akibatnya kini jika hujan kali besar penuh dengan luapan banjir meski tak sampai permukaan tapi cukup mampu menenggelamkan perkebunan dan jalan didesa tetangga yang lebih rendah daerahnnya, dan saat musim kemarau masyarakat dipusingkan dengan tak adanya air disumur-sumur mereka, itu semua pun tak membuat mereka sadar, bahkan sampai saat ini kali besar menjadi tempat pembuangan sampah pali efektif, dan pengambilan batu disungai pun tak pernah berhenti, meski sakarang hutan sudah mulai nampak hijau kembali tapi tak bisa dipungkiri jika penghijauan yang dilakukan hanyalah investasi masyarakat, gak ada yang menjamin jika nanti setelah pohon-pohon cukup besar dan mampu diperjual belikan tak akan ada masyarakat yang mencurinya, tapi itu baru masalah sungai, banyak lagi masalah masalah yang seolah mengusir ku dari desa dimana aku dilahirkan ini.
"Ini mas kopinya, sesuai pesanan"kata sipenjaga warung mengagetkan dan membuyarkan lamunan ku, "terimakasih ya mbak" kata ku sambil tersenyum menggoda(lagi-lagi biar dapet gratisan,hehe), lumayan kalau bisa macarin mbaknya itu, bisa ngopi gratis setiap hari, hehe,
Ku srutup kopi hitam ku, betapa pahitnya kopi pesanan ku ini, "mbak, ini beneran gak pake gula?" Tanya ku sedikit menggrutu, "lho tadi kan pesannya gitu mas"jawabnya sambil tersenyum seolah berhasil mengerjai ku, "iya mbak, tanpa gula itu berlaku kalau mbaknya mau nemeni aku ngobrol disini, jadi kopi yang pahit ini gak akan terasa kalau sambil ngelihat mbaknya"tegas ku berharap. "Aduh, aku musti cuci piring dan setelah itu goreng tempe lagi mas, jadi gak bisa"jawabnya menghindar, "ya sudah, ini tambah gula mbak, atau campur senyum mbaknya aja cemplungin kekopinya" pinta ku sambil menyodorkan kopi ku, "waduh, panas mas, bisa bibir ku dower ntar" jawabnya..
Tak selang berapa lama kopi ku yang sempurna datang,, dan langsung ku cicipi, "nah,,,,, kopi itu begini mbak, sudah mbaknya kedalam, ntar kalau ada mbaknya kemanisan lagi.hehe" goda ku, "yeee, ini juga mau kedalem mas, siapa juga yang mau nemenin situ." Timpalnya tak terima dgn usiran ku,
Saat sedang asyik ku nikmati kopi dan cahaya senja didesa ku tiba-tiba ada seorang perempuan yang sudah lama ku kenal tapi terlihat beda, dengan kerudung merah besar dipadu dengan baju lengan panjang khas santri dengan senyum yang tak biasa, aku sedikit tercengang dibuatnya, mungkin lama tak ku lihat dia jadi terlihat beda, dia adalah tetangga yang punya warung, rumahnya tak jauh dari sini namanya Putri Najwa, selama ini aku kenal dia biasa saja, tak pernah sapa menyapa apalagi bicara. Ku hanya meliriknya tanpa sepengetahuannya, karena memang tak berani aku mendekatinya.
Ku lihat jam menunjukkan jam lima lebih, ku bergegas pulang setelah membayar apa yang ku nikmati tadi kecuali menikmati jawah cantik sipenjaga warung, karena menurut ku itu memang bonus,, ku bergegas kembali ke peradapan ku, yaitu sebuah kamar yang penuh dengan darah kebosanan, ingin rasanya aku buru-buru pergi dari tempat ini, sungguh tak lagi ada semangat untuk ku hidup disekitar sini, hanya terdiam dikamar tanpa keluar pintu rumah kecuali untuk ngopi dan terkadang kewarung membeli sepuntung rokok yang memang sampai saat ini tak bisa lepas dari hidup ku.
Tak ada rencana pada malam-malam ku, mungkin hanya browsing, online, maen game dan nonton tv, itu yang setiap malam ku lakukan, untuk mengisi malam ku. Hobi ku mengkritisi para buruh yang tak menyadari dirinya buruh itu, mereka merasa dirinya itu penguasa, padahal mereka itu tak berhenti meminta bayaran kepada rakyat, bahkan hapir setiap tahun minta naik gaji dan rakyat pun meuruti, bahkan dengan penunjang kerja yang cukup mewah pun tak pernah mereka bekerja maksimal, hanya satu dua orang yang menyadari bahwa mereka buruh diantara ratusan orang, memang susah bila uang sudah menutupi hati, ya beginilah negeri yang tak punya hati nurani, pesuruh yang duduk digedung-gedung pemerintahan itu lupa dengan hakikatnya sebagai seorang pesuruh yang dibayar rakyat dan harus melayani rakyat, tapi yang terjadi adalah penindasan, seperti puisi seorang kiayi dari jawa tengah yang sering dipanggil GusMus dalam sajak atas nama, disitu banyak sekali disingguh tentang kebobrok'an negeri ini, salah satu bait puisinya begini "ada yang atas nama rakyat menindas rakyat, ada yang atas nama kedamaian mengusik kedamaian" kurang lebih seperti itu, disitu tergambar sekali tentang hilangnya karakter bangsa ini.
Seusai solat magrib kurebahkan tubuh dikasur, seolah tak mampu aku untuk berdiri lagi, entah mengapa seperti memikul beban ratusan ton dikepala ku ini, ku coba dengarkan syair-syari dari penyair besar negeri untuk menghantarkan aku kedalam mimpi ku, ku coba pejamkan mata ku namun betapa kagetnya aku saat ku lihat bayangan wajah cantik yang bertemu aku sore tadi, ya tak salah ia gadis berkerudung merah yang bernama putri, entah dari mana asalnya hingg aku terbayang wajahnya, tak biasa aku terbayang seorang wanita, ini membuat ku tak mampu terlap dimalam itu, dan ingin rasanya ku menulis syair sindiran sosial seperti biasa yang ku tulis, namun beberapa lama ku coba yang melayang dibenak ku hanyalah kata gadis berkerudung merah, hingga aku larut dalam kebingungan tak mampu menggoreskan tinta ku untuk satu kata pun hingga aku tak sadar waktu telah menunjukan jam dua lebih tiga puluh menit dini hari waktu setempat, dan akhirnya ku putuskan saja menulis kata apa saja yang keluar dari hayal ku, hingga terbentuk bait tabu yang terlihat sumbang,

Senyummu begitu indah menyapu akal sehat ku,
Mengantarkan aku dalam khayalan malam yang tak biasa,
Detik-detik berlalu tanpa terasa hingga waktu yang lama terasa singkat,
Ku coba tegakkan pena untuk menggoreskan cinta,
Namun khayal tak mampu selami bahasa,
Kau merusak semua akal sehat ku dalam sekejab mata,
Seolah senaja kau menari didapan ku sore tadi,
Memaksa ku menikmati cantik wajah mu itu,
Hanya terasa getaran hebat dalam hati ku yang lemah karena mu,
Ingin rasanya aku bertemu dengan mu esok nanti,
Berharap kau peluk tubuh ku yang tak mampu lagi berdiri,
Berharap kau sisakan hati untuk ku singgahi,
Berharap cinta mu ada disetiap malam ku yang nanti,
Kini semua nadi ku seolah berhenti,
Khayal ku hanya terbayang wajah canti ku yang berhias kerudung merah mu itu,
Beri aku setitik cinta wahai gadis berkerudung merah....

Begitulah sajak yang datang dalam benak ku malam itu, tak cukup indah namun cukup membuat ku lega melapas perasaan didalam dada meski hanya diatas kertas karya ku ini,
Dan akhirnya aku terlelap dalam peradapan kebosanan ku, terlelap aku dalam mimpi ku, nyenyak tidur ku hari ini hingga aku tak bangun ketika matahari menyinari bumi pertiwi. Saat senja kembali menyapa aku baru tersadar dari mimpi dan melihat bumi pertiwi yang nyata lagi, lemas tak berdaya tubuh ku ini, pusing tak bertenaga otak kotor ku ini, cepat ku berlari kekamar mandi untuk bersihkan diri sekedar mambasahi tubuh untuk segarkan otak kembali




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline