Beberapa hari lagi, kita akan menutup ibadah puasa di bulan Ramadan dan menyambut hari raya Idulfitri. Sesuai dengan tradisi, kita akan bercengkerama kembali dengan sanak saudara yang mungkin hanya bisa bertemu satu tahun sekali di momen hari raya ini.
Oleh karena itu, tentu banyak sekali cerita, pertanyaan, dan pengalaman yang akan dibagikan sebagai salah satu cara mengeratkan tali silaturahmi.
Singkatnya, lebaran menjadi sarana untuk memperbarui informasi masing-masing individu kepada keluarga besar: karir, prestasi, dan berbagai topik lainnya.
Akan tetapi, terkadang pertanyaan dan pernyataan yang diajukan oleh "oknum" keluarga besar membuat kita merasa tidak nyaman. Alih-alih merasa bahagia, hari raya justru menjadi ajang untuk saling singgung-menyinggung antara satu sama lain.
Sangat disayangkan apabila hari yang digunakan untuk saling bermaafan justru berubah menjadi hari yang penuh rasa kesal, dendam, dan benci.
Tentu, kita tidak ingin hal ini terjadi dan mengotori ritual suci yang seharusnya digunakan sebagai momen untuk memperbaiki diri setelah satu bulan berpuasa.
Lantas, apa yang harus kita lakukan agar hari raya tetap terasa menyenangkan dan menggembirakan meski terdapat beberapa pertanyaan dan pernyataan yang menyakitkan hati dari sanak saudara kita?
Jauh sebelum masa kejayaan Islam, para filsuf Yunani dan Romawi kuno telah memberikan kita resep jitu untuk menghadapi fenomena ini. Resep tersebut bernama "stoikisme".
Tidak seperti kebanyakan ajaran filosofi yang menekankan pada teori, stoikisme adalah filosofi yang berfokus pada praktik sehingga dapat diaplikasikan dengan mudah dalam kehidupan sehari-hari tanpa harus pusing-pusing memahami setiap istilah yang diajarkan.
Stoikisme secara sederhana merupakan filosofi yang berusaha menuntun kita dalam menjinakkan emosi (terutama emosi negatif) terhadap hal-hal eksternal, seperti orang lain dan lingkungan yang notabene berada di luar kendali kita.