Viralnya foto fenomenal truck angkutan material bangunan bersama seekor Komodo di media sosial hari-hari ini menghangatkan perbincangan warganet dan menjadi tajuk utama media-media nasional. Gambar yang cenderung memantik penafsiran moral publik ini, telah secara luas menuai kecaman publik dan aksi penolakan masif dari setiap kalangan, baik NGO pemerhati lingkungan, pemerhati pariwisata, akademisi, poitisi, hingga pemuda dan mahasiswa nasional terhadap projek wisata premium Komodo.
Proyek ambisius pemerintah yang cenderung berupaya memanipulasi habitat asli satwa purba ini tidak hanya akan mengancam keaslian landscape Taman Nasional Komodo (TNK) dalam jangka panjang, namun secara historis penampakan salah satu Truck angkutan material proyek pada gambar yang tengah viral tersebut merupakan bentuk invasi kendaraan sedang pertama dalam sejarah TNK sejak ratusan tahun silam. Dengan anggaran 69,96 Miliar Rupiah penampakan Pulau Padar akan dikonstruksi dengan beton properti berupa elevated Track, research centre hingga penginapan bagi peneliti dan pengelola.
Sebagai satu-satunya reptil purba paling dilindungi di dunia, pemerintah seharusnya bisa memahami bahwa menyentil sensitifitas karakter hewan berdarah dingin merupakan tindakan ceroboh yang akan berujung petaka bagi kenyamanan hidup komodo. Oleh karenanya, Kehadiran mesin dan kendaraan sedang hingga berat ke wilayah habitat komodo bisa disebut sebagai tindakan absurd yang justru merupakan ancaman serius bagi psikologi dan masa depan komodo.
Dan Hari ini, empati publik secara masif tengah mengarah pada sebuah kesimpulan bahwa, penghadangan komodo terhadap dum truck dalam gambar yang viral tersebut menyiratkan tentang rasa keterusikan komodo karena tidak bersedia habitatnya diganggu gugat oleh aktifitas proyek yang bising oleh lalu lalang kendaraan bermesin. Secara psiko-biologis komodo merupakan binatang soliter yang sangat tidak nyaman dengan keramaian.
Aksi penolakan pembangunan wisata alam yang oleh menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut binsar pandjaitan disebut sebagai "Jurassic Park" ini terus mengemuka seiring dengan kecurigaan publik dengan disahkannya rancangan undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja. Pasal-pasal kepariwisataan dalam UU Omnibus Law ciptaker secara jelas memberikan kesempatan pengembangan wisata bagi para pelaku indutstri pariwisata asing untuk melakukan investatsi di dalam negeri.
Konsepsi liberalisasi investasi industri pariwisata ala omnibus law ini tentu sangat beresiko bagi masa depan konservasi wisata alam Indonesia termasuk bagi TNK, di mana obsesi menjadikan TNK sebagai bagian integral wisata Bali dan Lombok.
Maka adalah rasional jika publik akan berasumsi jika Jurassic Park merupakan gerbang masuk bagi invasi investasi properti dengan skala yang lebih besar di kawasan TNK. Maka tak heran jika projek irasional pemerintah ini menjadi perhatian dari beberapa media asing. Media Reuters bahkan menurunkan berita Jurassic park Komodo dengan judul berita Indonesian Says 'Jurassic Park' project no threat to Komodo Dragon pada selasa (27/10/20200.
Masih di hari yang sama, proyek padat beton inisiatif Menko Marves LBP ini mendapat perhatian serius dan cemoohan dari komunitas Internasional melalui media kenamaan BBC yang menyebut Viral sparks concerns about Indonesia's 'Jurassic Park'. Demikian juga dengan media AS New York Daily News tak mau ketinggalan menunjukan kekhawatirannya tehadap masa depan Komodo dengan menyindir 'Jurassic Park' like attraction sparks fear of Komdo Dragon'.
Respon media internasional terhadap foto atraktif Komodo bersama Truck ini semakin mempertegas arus penolakan publik terhadap misi pembangunan ekonomi yang sangat rentan terhadap satwa langka. Sementara, di tengah krisis ekonomi dan keuangan negara, pemerintah tak tanggung mengalokasikan anggaran puluhan Miliar Rupiah bagi pembangunan kawasan yang dipersiapkan untuk menjadi lokasi pertemuan pemimpin-pemimpin negara G-20 tahun 2023 ini.
Bagi banyak pihak, Disorientasi pelestarian kawasan konservasi TNK dinilai akan menjadi awal kepunahan populasi Komodo, meskipun data KLHK justru mengatakan jumlah komodo cenderung stabil dalam tujuh belas tahun terakhir. Karena proses ekspansi modal dan properti di suatu kawasan wisata alam akan diikuti dengan ancaman kepunahan satwa liar di kawasan tersebut.
Seharusnya trend pertambahan jumlah populasi komodo menjadi indikasi dan rujukan atas keefektifan pendekatan konservasi yang dilakukan oleh otoritas TNK selama ini, di mana keterlibatan masyrakat lokal yang hidup berdampingan dengan 'Ora' (Nama lokal Komodo) sejak ribuan tahun silam. Pencapaian keseimbangan ekosistem ini tidak justru dicacati dengan libido kepariwisataan yang tidak ramah bagi komodo dan eksistensi masyarakat lokal Pulau Komodo dan Pulau Rinca.