"Harus saya sampaikan apa adanya, bahwa tidak ada progres". Demikian kira-kira kesimpulan sambutan emosional presiden Joko Widodo dalam rapat kabinet hari ini di istana negara.
Di hadapan wapres para menteri dan pimpinan lembaga tinggi negara, Jokowi tak mampu menyembuhkan rasa frustrasi akibat lambatnya kinerja anggaran kementrian dan lembaga yang masih menumpuk dalam kas masing-masing instansi kementrian.
Catatan bergaris bawah justru diberikan pada serapan anggaran kesehatan senilai 75 triliun yang baru terealisasi 1,5%. Ungkapan kekecewaan yang wajar bagi seorang pimpinan eksekutif berkarakter progresif. Maka tak heran jika terdapat nada ancaman serius dari presiden kepada para pembantunya.
Ungkapan sense of crisis pun disebutnya hingga lebih dari tiga kali, sebuah penekanan yang serius. Opsi ancamannya pun bermacam macam, dari reshuffle hingga pembubaran lembaga yang dianggap tidak efektif. Sebuah ketegasan yang Sangat rasional dan realistis bagi seorang presiden yang menjadi penanggung jawab atas nasib bangsa ini.
Sangat normal bagi sensitivitas kepribadian seorang jokowi yang dikenal sederhana dan dekat dengan wong cilik. Siapa pun yang menjadi presiden hari ini, pasti akan memiliki perasaan yang sama, jika melihat progresi kinerja para pembantunya yang lambat dan biasa-biasa saja.
Namun Pertanyaannya sekarang adalah kemana saja anggaran penanganan sekaligus pemulihan ekonomi nasional 600-an Triliun tersebut? Jika terdapat faktor regulasi yang menjadi penghambat bagu lalu lintas anggaran tersebut, di mana posisi terkini anggaran tersebut?
Bukankah dengan Perppu 01 tahun 2020 yang telah disahkan menjadi UU sudah cukup memberikan stimulus bagi akselerasi penggunaan anggaran untuk belanja pemerintah dan bantuan sosial kepada masyarakat melalui BLT.
Ancaman resesi yang oleh beberpa lembaga keuangan internasional bisa terkoreksi hingga ke titik minus 6-7% sepertinya merupakan hipotesa yang menjadikan presiden terlihat mulai panic dan kehilangan kendali politiknya.
Seketika Simpati dan dukungan publik pun langsung tersedot kuat mengalir kepada Jokowi. Apakah Jokowi benar-benar akan membuktikan ancaman politis yang baru saja disampaikannya? Atau ungkapan amarah dan murka presiden justru dianggap sebagai acara cari muka di hadapan publik yang juga sedang kesal dengan kinerja pemerintah dalam menanggulangi pandemik Covid-19 berikut dampaknya.
Masih dalam suasana kekesalan yang sangat terhadap kinerja kabinet keduanya, ancaman reshuffle kabinet justru menjadi isu yang paling banyak dirilis oleh media, daripada pesan dan instruksi khusus presiden Jokowi terhadap distribusi anggaran pada sektor rill yang padat karya dan berdampak ekonomi yang luas. Agar uang bisa lebih cepat teredar di masyarakat.
Maka upaya peningkatan daya beli masyarakat dan UMKM harus lebih nendang lagi. Namun secara pribadi presiden menekankan pada pentingnya kesamaan rasa dan semangat bekerja bagi seluruh menterinya. Menurutnya, harmonisasi kinerja dan spirit kebersamaan semua pimpinan kementerian dan lembaga justru tidak tampak selama periode krisis ini.