Apakah anak-anak di era digital lintas jenjang pendidikan yang dipaksa keadaan menjalani sekolah daring saat ini lebih suka menyampaikan pertanyaan pada Mbah Google, ketimbang pada emak atau bapak mereka?
Tentu saja jawaban yang mereka terima akan bersifat pengetahuan umum semata tergantung seberapa trendi pertanyaan yang diberikan, tanpa esensi yang mengakomodir kebutuhan intelektual-emosional anak sebagai individu-individu unik, dan berpotensi menggiring mereka pada tautan-tautan yang bisa jadi merupakan 'racun' bagi pembentukan karakter mereka yang masih belum memiliki fondasi akhlak yang kuat.
Saat lagu religi Ramadan legendaris Bimbo berjudul 'Ada Anak Bertanya Pada Bapaknya', yang mengusung keindahan hubungan antara orangtua dan anak-anak mereka, berkumandang pertama kali di tahun 2016 sampai lamat-lamat masih terdengar hingga saat ini; kita tetap bisa menangkap kehangatan komunikasi yang indah antara seorang anak dan ayahnya.
Pertanyaan-pertanyaan bersahaja bertemu dengan jawaban-jawaban sederhana yang disesuaikan dengan kapasitas anak untuk memahami aspek religius dasar. Jawaban yang mengundang keinginan bereksplorasi lebih jauh saat dirinya beranjak remaja bahkan dewasa kelak.
Lirik lagu bernas, yang telah dinyanyikan ulang oleh banyak penyanyi papan atas Indonesia, itu liriknya ditulis oleh sastrawan Taufik Ismail dengan muatan edukasi yang masih sangat aktual untuk disimak dan diresapi oleh para emak-bapak sebagai inspirasi bahan mendidik dalam keluarga, terutama berkaitan dengan upaya membangun karakter akhlak mulia dalam diri anak-anak. Apalagi di momen puasa Ramadan yang merupakan syahrut tarbiyah alias bulan pendidikan ini.
Lagu dibuka dengan 'Ada anak bertanya pada bapaknya//buat apa berlapar-lapar puasa?//ada anak bertanya pada bapaknya//tadarus tarawih apalah gunanya?//'
Tanya itu berjawab pada lanjutan lirik, 'Lapar mengajarmu rendah hati selalu//tadarus artinya memahami kitab suci// tarawih mendekatkan diri pada Illahi//'
Rangkaian tanya-jawab di atas bisa dikembangkan dalam membangun komunikasi secara langsung dengan anak. Sisihkan satu-dua jam dalam keseharian dimana segenap keluarga lepas dari ketergantungan pada Mbah Google dan kantung ajaib serba tahunya yang mengambang.
Saatnya emak dan bapak duduk dekat-dekat di samping anak -anak untuk mendengarkan celoteh rasa ingin tahu mereka tentang kesan-kesan si Buyung menjalani puasa perdananya atau berapa hari si Upik cuti puasa karena menstruasi dan bagaimana cara 'membayar hutang' shaum-nya.
Seandainya keterlibatan mendalam dengan gawai membuat mereka jadi pendiam dan pasif, ubahlah paradigmanya dengan 'emak-bapak bertanya pada anak-anaknya'. Bercermin dari lirik lagu religi di atas, orangtua bisa memancing dengan, "Nak, tahu nggak kenapa kita puasa padahal, kan, lapar?" dan kalau jawaban anak menegaskan ketidaktahuannya, tinggal digiring pada fakta-fakta ringan kehidupan para duafa yang harus bekerja sangat keras untuk bisa makan. Suapkan dengan sabar padanya konsep empati sosial dan sedekah.
Selanjutnya tuntun anak memperdalam pengetahuan dasar yang telah emak-bapak berikan dengan keteladanan mengakses sumber utama pendidikan yang aktual sepanjang masa melalui tadarus Al Qur'an yang diawali dengan belajar membaca, merutinkan membaca, mempelajari terjemahan, dan mengkaji makna dari terjemahannya untuk diaplikasikan secara nyata dalam kehidupan.