Undang-undang (UU) 'Sapu Jagat' alias Omnibus Law Cipta Kerja ini dibuat pemerintah karena menginginkan terjadi pertumbuhan ekonomi lebih dari 5 persen agar bisa terbebas dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap) dan itu hanya bisa dicapai bila pertumbuhan investasi di atas 10% (Hukum Online, 5 Maret 2020). Persoalannya, terlalu banyak peraturan perundang-undangan termasuk di bidang perizinan usaha selama ini justru menjadi penghambat investasi .
Senior Partner Assegaf Hamzah and Partners Law Firm (AHP), Ahmad Fikri Assegaf menjabarkan, dari data yang disampaikan Pemerintah saat ini terdapat 8.486 peraturan pusat, 14.815 peraturan menteri, 4.337 peraturan lembaga, dan 15.966 peraturan daerah, dengan total keseluruhan berjumlah 43.604 peraturan. UU Sapu Jagat diharapkan pemerintah dan membenahi peraturan perundang-undangan yang dirasa over-regulated dan menghambat investasi.
Masalahnya hasil penelitian World Economic Forum (WEF) tahun 2017 menunjukkan bahwa aturan ketenagakerjaan bukan merupakan faktor utama yang membuat para investor enggan menanamkan modalnya di Indonesia (The Conversation, 19 Februari 2020).
Penelitian WEF tersebut menunjukkan terdapat 16 faktor yang menjadi penghalang iklim investasi di Indonesia dimana korupsi menjadi kendala utama yang disusul oleh inefisiensi birokrasi, infrastruktur tidak memadai, kebijakan dan ketidakstabilan pemerintah. Semantara peraturan ketenagakerjaan hanya berada dalam posisi ke-13 sebagai faktor yang mempengaruhi enggan tidaknya investor menanamkan modalnya di Indonesia.
Namun langkah yang dilakukan oleh pemerintah saat ini justru sebaliknya. Pemerintah malah mengutamakan perubahan pada regulasi ketenagakerjaan melalui UU Sapu Jagat Cipta Kerja, dan secara perlahan menyulitkan proses pemberantasan korupsi dengan melemahkan posisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Seharusnya belajar dari kebijakan sebelumnya, yaitu perubahan regulasi ketenagakerjaan yang pernah dilakukan pada tahun 2015 melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 yang terbukti tidak bisa memperbaiki iklim investasi dan itu bisa dilihat pada fakta bahwa investasi asing pada kuartal satu 2016 sebesar Rp 96,1 triliun atau turun dari kuartal keempat tahun sebelumnya yang mencapai Rp 99,2 triliun dan itu merupakan penurunan pertama kali dalam periode lima tahun (The Conversation, 19 Februari 2020).
Begitu pula, masih menurut The Conversation, PP Nomor 78 Tahun 2015 yang meniadakan hak berunding buruh dalam penentuan upah justru mempengaruhi hubungan industrial antara pengusaha dan pekerja dan terbukti tidak efektif. Akibatnya seruan mogok kerja terus menerus berlangsung sehingga pemerintah akan merugi dan menimbulkan keresahan publik berkepanjangan yang sangat tidak kondusif baik bagi buruh maupun iklim usaha.
UU Sapu Jagat Cipta Kerja bila disahkan juga berpotensi mendatangkan kegagalan serupa, apalagi di dalam draft RUU-nya terdapat lima poin yang dinilai merugikan pekerja. Adaapun kelima poin tersebut, sebagaimana dirilis laman Tempo.co (17 Maret 2020), meliputi
1. Upah Minimum Kota atau Kabupaten Terancam Hilang
Pasal 88C draft RUU tersebut berbunyi; Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. Ayat (2) dijelaskan lebih lanjut bahwa upah minimum sebagaimana disebut di atas merupakan upah minimum provinsi (UMP). Masalahnya aturan tersebut menghapus keberadaan upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan upah minimum sektoral kapupaten/kota (UMSK) yang rata-rata jauh lebih tinggi dibanding UMP.
2. Besaran Pesangon PHK Berkurang