Lihat ke Halaman Asli

Wahyuni Susilowati

TERVERIFIKASI

Penulis, Jurnalis Independen

Sindrom Patah Hati Itu Penyakit Sungguhan

Diperbarui: 23 Februari 2020   07:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kendalikan emosi saat putus cinta agar tak merusak kinerja otak (doc. BBC/ed.Wahyuni)

Satu hal yang sering dilupakan tentang patah hati, selain sakit secara emosional yang merupakan paduan kesedihan, kekecewaan, dan rasa takut; adalah fakta bahwa kondisi itu juga menyakitkan secara fisik.

Gangguan kesehatan jasmani itu, sebagaimana dilansir laman www.refinery29.com, bisa berupa benjolan di tenggorokan, sakit perut, rasa sesak di dada, bahkan mendengar 'patah hati' saja menimbulkan rasa sakit dan faktanya semua sensasi tidak nyaman tersebut bukan hanya ada dalam pikiran semata. Kehilangan orang yang dicintai atau putus cinta memang dapat memicu kondisi medis aktual yang dinamakan 'sindrom patah hati'.

Sindrom patah hati adalah kondisi temporer jantung yang terjadi paska periode kesedihan yang sangat mendalam atau gejolak emosional negatif/positif lainnya dan, menurut Harvard Health Publishing, sembilan puluh persen kasus itu terjadi pada perempuan berusia antara 58 sampai 75 tahun. Stres ekstrem dapat menyebabkan "ventrikel kiri jantung membengkak di bagian bawah sementara leher tetap sempit," Papar ScienceDaily. Itu menyakitkan.

Bahkan, banyak orang salah mengira bahwa sindrom patah hati (juga disebut sindrom Takotsubo atau TTS) adalah serangan jantung karena, menurut Cleveland Clinic, gejalanya termasuk sesak napas dan nyeri dada memang serupa. Hanya saja serangan jantung terjadi ketika arteri tersumbat oleh gumpalan darah dari penumpukan lemak, sementara sindrom patah hati tidak demikian.

Penelitian menunjukkan bahwa sindrom patah hati dapat disebabkan oleh episode-episode tekanan emosi yang parah seperti kesedihan, kemarahan, ketakutan, atau reaksi terhadap peristiwa bahagia dan gembira. Pada dasarnya dia dipicu oleh apa pun yang dapat menyebabkan reaksi emosional intens atau ekstrem.Stresor fisik, menurut Johns Hopkins Medicine, seperti stroke, kejang, asma, atau perdarahan yang signifikan juga dapat menjadi pemicu.

Tapi bagaimana stres bisa mempengaruhi jantung? Sebuah penelitian yang dirilis di European Heart Journal, memaparkan analisis perbandingan hasil pindaian otak 15 orang berkasus TTS dengan otak 39 orang sehat. Hasilnya ditemukan bahwa pada penderita sindrom patah hati terjadi 'kurang komunikasi' antar bagian-bagian tertentu di otak.

Peneliti Christian Templin MD PhD menjelaskan pada ScienceDaily bahwa bagian-bagian otak pengendali emosi "kurang berbicara" ke bagian-bagian otak yang mengendalikan sistem saraf otonom (pengatur detak jantung, pernapasan, dan kedipan mata).

Gangguan komunikasi di atas pada penderita TTS dapat memudahkan terjadinya stimulasi berlebih pada sistem saraf otonom mereka, terutama pada fungsi pengendalian kontraksi jantung dan detak jantung.

Menurut Harvard Health Publishing, tidak ada pengobatan standar untuk sindrom patah hati dan harus mempercayakan pada dokter untuk menentukan tindakan medis terbaik berdasarkan keparahan gejala serta faktor lain seperti tekanan darah. Beberapa alternatif biasanya dilakukan seperti konsumsi aspirin atau obat untuk gagal jantung yang lebih intensif. Kabar baiknya, TTS tidak sering menyebabkan kematian.

Biasanya setelah terkena TTS, takkan terulang kedua kalinya. Namun tetap harus diwaspadai kerena meski kondisi membaik dalam empat hingga delapan minggu, 20% orang dengan TTS akhirnya mengalami gagal jantung.

Jadi fokuslah melakukan perawatan diri secara fisik dan emosional paska putus cinta agar sindrom patah hati tidak datang menyergap.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline