Benny Tjokrosaputro yang familiar dipanggil Bentjok dalam kapasitasnya sebagai Direktur Utama PT Hanson International Tbk bersama-sama dengan Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk Heru Hidayat diminta bertanggung jawab atas kerugian investasi yang dialami Asuransi Jiwasraya dan Asabri (Kontan.co.id, 2 Februari 2020).
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sebagaimana diberitakan Kontan; tengah mengupayakan untuk mengambil aset sitaan Bentjok dan Heru, seperti sertifikat tanah, agar bisa digunakan untuk memulihkan aset milik Jiwasraya dan mendesak keduanya untuk melunasi utang jual-beli saham di Asabri senilai Rp.10,6 triliun.
Langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Bentjok sebagai tersangka kasus korupsi di Jiwasraya mendapat apresiasi khusus dari Dahlan Iskan, mantan Menteri BUMN(2011-2014) di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,'Awalnya saya berpikir Bentjok -Benny Tjokrosaputro- pasti lolos lagi. Kali ini pun (pasti begitu lagi).
Ternyata Kejaksaan Agung kali ini hebat. Bentjok sudah ditetapkan sebagai tersangka. Bersama empat tersangka lainnya. Dalam kasus Jiwasraya yang seru itu. Tulisnya per 16 Januari 2020 lalu atau tepatnya dua hari setelah Kejagung menetapkan Bentjok sebagai salah satu tersangka dalam kasus korupsi Jiwasraya.
Bentjok memperoleh dana milyaran dari Jiwasraya, menurut Dahlan dalam tulisan yang sama, dengan cara menjual MTN (Medium Term Note, surat utang jangka menengah) dan transaksi lewat pasar modal dimana aksi 'menggoreng' saham dilakukan.
MTN
Siapa pun yang memiliki perusahaan bisa mengeluarkan MTN bermodal selembar kertas yang berkop perusahaan, tanda tangan direktur utama, dan stempel perusahaan. Lalu ketik catatan yang berbunyi 'Dengan ini kami berhutang, misalnya Rp 500 milyar. Utang akan dibayar pada tanggal ... (tiga tahun kemudian atau kapan saja sesuai kesepakatan) dengan bunga ... persen (10 persen, 12 persen, ...)'. Semakin tinggi bunga yang dijanjikan, tulis Dahlan, akan makin banyak peminatnya.
Setelah lembaran itu dibubuhi stempel perusahaan dan ditandatangani oleh direktur utama, selanjutnya MTN itu diserahkan pada perusahaan sekuritas alias broker yang nantinya akan mencarikan pembeli sekaligus bertindak sebagai penjamin bahwa utang benar-benar akan dibayar kembali berikut bunga yang dijanjikan. Pengaju MTN tinggal memberi komisi, menurut Dahlan besarannya tergantung seberapa kepepet pihak yang butuh utang, berkisar antara setengah sampai satu persen dari jumlah hutang pada broker.
Atau, bila punya relasi bisnis luas, perusahaan bisa memasarkan sendiri MTN-nya tapi tetap wajib menggunakan broker dalam realisasinya. Tentu saja komisi yang dikeluarkan akan jauh lebih kecil karena yang dibutuhkan hanya legalitas broker untuk memenuhi ketentuan transaksi.
Pengusaha sekelas Bentjok pasti punya perusahaan broker sendiri atau perusahaan orang lain yang berada di bawah kendalinya. Para broker biasanya sudah punya daftar perusahaan atau perorangan yang punya stok uang 'nganggur' berlimpah dan ingin memutarnya untuk mendapat keuntungan. MTN yang menawarkan tingkat bunga 10-12 persen pastinya lebih menggiurkan ketimbang bank yang hanya menawarkan 5-6 persen.
Bunga tinggi dan komisi di bawah tangah bila berhasil menjual MTN memang menggiurkan, terutama bagi mereka yang menduduki posisi direktur utama beserta jajarannya di perusahaan milik negara yang lebih mengutamakan legalitas dan mementingkan persyaratan admininistrasi, termasuk adanya agunan, dipenuhi. Padahal hal itu bisa diatur dengan manajemen kongkalingkong.