Tanda-tanda ketidakberesan tata kelola keuangan di PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) Persero sebenarnya sudah terendus oleh para auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sejak tahun 2016, bahkan hasil temuan mereka sudah dirilis dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2016 (Tempo.Co, 23 januari 2020).
Pemeriksaan di atas dilakukan terhadap efektivitas penyaluran pembayaran pensiun dan efisiensi pengelolaan investasi Asabri tahun buku 2015 dan semester I tahun 2016. Saat itu BPK mencatat adanya 15 temuan yang memuat 19 permasalahan yang terdiri atas 5 permasalahan ketidakefisienan senilai Rp 834,72 miliar, 12 permasalahan ketidakefektifan, 1 permasalahan potensi kerugian negara senilai Rp 637,1 miliar, dan 1 permasalahan kekurangan penerimaan senilai Rp 2,31 miliar.
Direktur Utama PT Asabri Sonny Widjadja sudah membantah dugaan korupsi di tubuh Asabri dan Menteri BUMN Erick Thohir menyebutkan bahwa kondisi keuangan PT Asabri stabil, "Dalam keadaan keuangannya stabil, tapi kalau ada penyelewengan dari penurunan aset karena salah investasi atau penurunan harga saham, tentu itu harus dibuktikan," (Kompas.com, 17 Januari 2020).
Pernyataan Erick di atas sudah direspon oleh pimpinan Ombudsman dengan menugaskan Asisten Utama Ombudsman RI Dominikus Dalu untuk melakukan investigasi awal terkait masalah pada sejumlah perusahaan asuransi pelat merah, termasuk Asabri dalam jangka waktu 30 hari (Tempo.Co, 23 Januari 2020). Adapun sasaran investigasi ini adalah para pengawas eksternal yang bertanggung jawab mengawasi Asabri, sesuai amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 102 Tahun 2015.
Tata kelola keuangan Asabri yang dinilai tidak sesuai prosedur itu dikaitkan dengan masalah pengawasan yang lemah karena, salah satunya, tidak melibatkan lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengawas eksternal. Hal ini dijawab pihak OJK bahwa mereka telah menerbitkan Peraturan OJK Nomor 2 Tahun 2014 tentang kewajiban perusahaan asuransi untuk memiliki direktur kepatuhan (director of compliance). Asabri diketahui hanya memiliki tiga direktur saja, yaitu direktur utama, direktur sumber daya manusia, serta direktur keuangan dan investasi.
Pemberlakuan aturan tersebut di atas, menurut Kepala Sub Bagian Perizinan Asuransi OJK, Mohammad Arfan, bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan perusahaan perasuransian terhadap perundang-undangan dalam menjalankan kegiatan bisnisnya serta memberi kesadaran perusahaan atas tanggung jawab sosial (Hukum Online, 27 April 2019).
Direktur kepatuhan dalam suatu perusahaan jasa keuangan, menurut IPM Margha Putra dari JP Morgan sebagaimana dilansir laman Hukum Online, dapat melakukan tindakan yang bersifat preventif (exante) seperti terlaksananya budaya kepatuhan terhadap semua ketentuan yang berlaku. Tindakan itu bisa berupa sosialisasi dan pelaksanaan kode etik, eskalasi isu-isu ketidakpatuhan,kerangka kerja untuk monitoring dan pengawasan.
Selain itu, direktur kepatuhan juga harus dapat mengelola risiko yang timbul dari ketidakpatuhan atau fraud yang terjadi. Intinya keberadaan direktur kepatuhan adalah untuk menjamin produk keuangan yang ditawarkan pada konsumen sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Sayangnya, berdasarkan data OJK, hanya 11 perusahaan asuransi umum dan 3 perusahaan asuransi jiwa yang telah memiliki posisi direktur kepatuhan padahal tercatat ada 134 perusahaan perasuransian yang beroperasi di Indonesia saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H