Lihat ke Halaman Asli

Wahyuni Susilowati

TERVERIFIKASI

Penulis, Jurnalis Independen

Natuna, Berulangnya Pelanggaran China, dan Potensi Konflik Maritim Multilateral

Diperbarui: 22 Januari 2020   10:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KRI Tiptadi menghalau kapal China di kawasan laut Natuna (doc. ANTARA/ed.Wahyuni)

China, sebagaimana dilansir laman pshk, dengan kebijakan maritim 9DL (nine dashed lines, sembilan garis putus) yang diterapkannya semau gue untuk mengklaim zona eksplorasi di kawasan perairan Laut China Selatan memang sudah berulangkali memicu persengketaan multilateral yang sangat kompleks dengan Malaysia, Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam, dan Indonesia.

Sejak akhir tahun lalu sampai saat ini, kawasan Natuna utara menjadi incaran utama China karena potensi perikanan dan konon potensi tambangnya yang bernilai sangat tinggi. 

Adu klaim antara dua negara pun terjadi dimana Indonesia berpegang pada kebijakan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dan China bersikukuh dengan 9DL-nya sebagai patokan untuk menyatakan Natuna masuk dalam wilayah masing-masing.

Kondisi tersebut di atas tentu menyulitkan bagi terselenggaranya pembicaraan bilateral untuk mencari solusi yang mengakomodir kepentingan kedua negara sehingga Indonesia, sebagaimana diungkapkan oleh Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar yang dilansir oleh CNN (20/1), menegaskan,"Tidak ada negosiasi. Posisi kita jelas dan diakui hukum internasional, UNCLOS 1982. Tidak ada keperluan untuk bernegosiasi (dengan China) tentang kawasan ZEE Indonesia."

Komitmen itupun diperkuat oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang mengutarakan tekadnya dalam meningkatkan pertahanan RI dan memoderninasi alutsista negara untuk menghalau negara-negara lain yang melanggar dan masuk ke wilayah Indonesia karena kedaulatan negara tidak bisa ditawar (CNN, 20 Januari 2020).

Indonesia, menurut laman pshk, mempunyai perbatasan laut langsung dengan 10 negara tetangga termasuk India, Thailand, Singapura, Malaysia, Vietnam, Filipina, Palau, Timor Leste, Papua Nugini dan Australia. Hal ini merupakan potensi konflik yang harus diwaspadai mengingat  dari kesepuluh negara itu, Indonesia baru memiliki perjanjian batas maritis secara penuh dengan Papua Nugini saja.

Sehingga tidak berlebihan bila Sekretaris Menko Kemaritiman dan Investasi Agung Kuswandono, sebagaimana dilansir laman Mongabay.co.id, menyatakan Indonesia masih punya setumpuk PR (pekerjaan rumah) yang harus dilakukan meliputi menjalin perjanjian batas laut wilayah dengan Malaysia, Singapura, dan Timor Leste serta batas zona ekonomi eksklusif dengan India, Thailand, Malaysia, Vietnam, Palau dan Timor Leste.

Selanjutnya Indonesia pun masih harus menyelesaikan perjanjian batas landas kontinen dengan Filipina, Palau, dan Timor Leste serta meninjau kembali perjanjian batas maritim dengan Australia yang sudah ditandatangani pada 1992.

Semakin cepat diselesaikan akan semakin baik karena perbedaan pijakan hukum dan pasal-pasal longgar dalam Konvensi Hukum Laut Internasional UNCLOS 1982 masih berpotensi melahirkan sengketa perbatasan maritim multilateral di masa mendatang. Selain sisi ekonomi, masalah perbatasan juga menyentuh aspek kedaulatan yang merupakan bagian dari harga diri bangsa ini yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya di kancah percaturan politik global.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline