Lihat ke Halaman Asli

Wahyuni Susilowati

TERVERIFIKASI

Penulis, Jurnalis Independen

Pengungsi Gempa Maluku Itu Bukan Beban, Pak Wiranto!

Diperbarui: 2 Oktober 2019   11:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana di salah satu tenda pengungsian korban gempa bumi Ambon (doc. Al Jazeera/ed.Wahyuni)

Gempa 6,8 magnitudo sebelumnya mengguncang Pulau Ambon dan Kabupaten Seram Bagian Barat pada Kamis (26/9/2019) sekitar pukul 08.46 Wit. Adapun lokasi gempa berada pada titik koordinat 3.38 Lintang Selatan,128.43 Bujur Timur atau berjarak 40 km Timur Laut Ambon-Maluku dan 9 km Kairatu, Kabupaten Seram Bagian Barat dengan kedalaman 10 km (Kompas, 1 Oktober 2019).

Gempa tersebut telah mengakibatkan 34 orang tewas dan, menurut jurubicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo, 150 orang cedera serta lebih dari 200,000 orang tinggal di tempat pengungsian (Reuters, 29 September 2019).

Jumlah pengungsi itu rupanya membuat pemerintah merasa 'terbebani', hal tersebut dikemukakan oleh Menko Polhukam Wiranto, "Sekarang sedang dilakukan sosialisasi bahwa tidak ada gempa susulan yang lebih besar lagi, tidak ada tsunami, diharapkan masyarakat bisa kembali ke tempat tinggal masing-masing untuk mengurangi besaran pengungsi, pengungsi terlalu besar ini sudah menjadi beban pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah," (inews, 1 Oktober 2019).

Menurut United States Geological Survey (USGS) selama 40 tahun terakhir telah terjadi peningkatan jumlah gempa bumi sampai enam kali lipat di seluruh dunia. Selama periode yang sama, juga terdeteksi bahwa bencana ini telah dikaitkan dengan peningkatan insiden dan prevalensi berbagai penyakit kejiwaan di antara mereka yang bertahan hidup setelah bencana terjadi seperti gangguan stres akut (ASD, acute stress disorder), gangguan stres pasca trauma (PTSD, post traumatic stress disorder), gangguan kecemasan, depresi berat, keluhan somatik, dan gangguan tidur (Trends Psychiatry Psychotheraphy vol 39 no.2, April-Juni 2017).

Meskipun konsekuensi dari setiap bencana dapat mencakup berbagai gejala dan psikopatologi; sebagian besar penelitian telah mendokumentasikan bahwa psikopatologi yang paling umum hadir dan paling sering terjadi setelah bencana alam adalah PTSD (Mudassir Farooqui, dkk; 2017).

PTSD digambarkan sebagai gejala kecemasan patologis yang berlangsung lebih dari satu bulan setelah 'bersentuhan'dengan kasus kematian yang baru terjadi, merasa terancam, atau mengalami cedera serius. Trauma psikis dapat diakibatkan oleh pengalaman sendiri, menyaksikan peristiwa yang sangat mengguncang jiwa, atau bisa saja terpengaruh oleh berbagai peristiwa traumatis yang dialami oleh kerabat dan rekan sejawat. Hal ini dapat terjadi pada siapa saja yang mengalami ketakutan, ketidakberdayaan, atau kengerian setelah bencana alam, seperti gempa bumi yang dapat melibatkan ancaman cedera atau kematian.

Saudara-saudara kita di Maluku pun bukan tidak mungkin mengalami trauma psikis serupa, maka sangat disarankan pada para pejabat publik untuk bisa lebih empatik dalam memberikan tanggapan seputar para pengungsi. Ucapan Wiranto yang lebih menekankan pada 'beban pemerintah' terkesan sangat egosentrik, bagaimana pun mengurusi warga negara adalah 'tanggungjawab' bukan 'beban' pemerintah.

Rakyat sedang dilanda kesusahan dan itu membebani mereka masing-masing, tugas pemerintah adalah membantu meringankan beban itu sementara waktu sampai mereka bisa berjalan lagi secara mandiri. Bersinergilah dengan para pemuka agama dan psikolog/psikiater dalam menangani pengungsi agar semangat serta rasa percaya diri mereka segera pulih kembali untuk melanjutkan kehidupan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline