Lihat ke Halaman Asli

Wahyuni Susilowati

TERVERIFIKASI

Penulis, Jurnalis Independen

Penindasan Suku Rohingya di Myanmar Masih Berlangsung

Diperbarui: 19 September 2019   15:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Warga Rohingya di kamp pengungsian (doc.UNHCR)

Kecaman internasional rupanya tak cukup menggerakkan rezim pemerintahan Myanmar untuk melakukan rehabilitasi terhadap Muslim Rohingya yang menjadi korban pembantaian etnis tahun 2017 lalu.

Pengamat Khusus Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk masalah hak asasi manusia di Myanmar, Yanghee Lee, melaporkan bahwa Myanmar tidak melakukan apa pun untuk menghentikan kekerasan dan penganiayaan sistematis terhadap Rohingya, dan bahwa Rohingya yang tetap di Rakhine hidup dalam keadaan mengerikan sama seperti yang mereka lami sebelumnya pada Agustus 2017 (The Daily Star, 18 September 2019)

"Mereka tidak diakui sebagai warganegara, menghadapi kekerasan rutin (termasuk dalam konteks konflik yang sedang berlangsung antara Tentara Arakan dan Tatmadaw), tidak dapat bergerak secara bebas dan hanya memiliki akses sangat terbatas untuk memperoleh makanan, perawatan kesehatan, pendidikan, mata pencaharian dan pelayanan lainnya," Paparnya.

Yanghee, dalam laporannya pada Human Rights Council Selasa (17/9) lalu, juga menyatakan bahwa situasi di Myanmar sungguh-sungguh sangat memprihatinkan dan itu bukan hal yang diharapkan terjadi setelah hampir empat tahun pelaksanaan pemilu nasional untuk demokrasi digelar di sana.

"Saya ingin bertanya pada Penasehat Negara (dia menujukan ini pada Aung San Suu Kyi, -pen.), apakah Myanmar yang ada pada hari ini adalah betul-betul aspirasinya yang telah diperjuangkan tak kenal lelah selama puluhan tahun untuk membangun Myanmar yang bebas dan demokratis? Saya memohon kepada anda, Ibu Penasehat Negara, untuk membuka mata, mendengarkan, merasakan dengan hati, dan tolong gunakan otoritas moral anda (terkait Rohingya), sebelum terlambat." Himbau Yanghee.

Dia juga menyatakan bahwa Myanmar selalu mengklaim sudah melakukan apa yang diperlukan untuk mensukseskan pemulangan (repatriasi) para pengungsi Rohingya dan terus menerus menyalahkan Bangladesh untuk setiap kelambatan yang terjadi, namun kenyataan di lapangan menunjukkan hal sebaliknya.

Pantauan satelit menunjukkan adanya pembangunan 34 kamp namun tujuan utama aktifitas tersebut tidaklah jelas. Yanghee menyatakan ada kemungkinan rezim Myanmar berniat memenjarakan populasi Rohingya yang masih tersisa di negeri tersebut dan para pengungsi yang memutuskan untuk kembali. Pembangunan tersebut mengarah ke bagian Rakhine utara, termasuk pendirian enam pangkalan militer yang dibangun di atas bekas pedesaan Rohingya yang telah dihancurkan.

Seluruh desa yang dihuni warga Rohingya telah dihancurkan dan 40 persen di antaranya rata dengan tanah. Tak ada tanda-tanda upaya rekonstruksi di 320 dari 392 desa yang telah porak poranda itu.

"Penghancuran desa-desa tersebut terjadi pada tahun 2018-2019 dan semua itu merupakan antithesis dari klaim Myanmar bahwa mereka bersedia menerima kembali para pengungsi.Saya lebih jauh juga mencatat bahwa berdasarkan hukum pertanahan di Myanmar, lahan-lahan yang terbakar akan menjadi milik pemerintah." Lanjut Yanghee seraya menambahkan bahwa para pengungsi yang berharap untuk pulang harus siap menerima kenyataan bahwa tak ada lagi milik  mereka yang tersisa di kampong halaman.

Dia sangat meyakini bahwa pertanggungjawaban Myamnar sebgai sebuah negara sangat diperlukan dan menjadi kunci untuk suksesnya repatriasi. Sekaligus juga diharapkan akan mengakhiri kekerasan militer terhadap etnis minoritas di Myanmar sehingga warga Rohingya dapat hidup dengan aman di Rakhine.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline