Lihat ke Halaman Asli

Wahyuni Susilowati

TERVERIFIKASI

Penulis, Jurnalis Independen

1441 Hijriah, Saatnya Kembali Menata Benteng Moral Keluarga

Diperbarui: 31 Agustus 2019   21:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjaga diri dan keluarga adalah prioritas utama kehidupan (doc.123RF, Dreamstime/ed.Wahyuni)

Media sosial bukanlah 100 persen realita kehidupan di jagat raya ini; namun milyaran pengguna dan aspirasi yang mereka suarakan lewat status kalimat dan gambar adalah bagian dari cermin seperti apa kualitas kemanusiaan kita di awal tahun 1441 Hijriah ini.

Hedonisme via influencer yang mayoritas berasal dari kalangan selebritis dunia hiburan dan games yang sarat kekerasan-seks produk lokal maupun mancanegara mendominasi perhatian para generasi muda kita sampai ke level umur yang paling piyik. 

Tapi, alhamdulillah, meski tak mendapat porsi sebesar dua tema primadona itu setidaknya masih sering kita baca anak-anak Indonesia menjuarai berbagai lomba  musabaqah tilawatil Qur'an (MTQ) dan olimpiade sains lintas bidang level internasional. Harapan itu belum sepenuhnya hilang.

Saat upaya penggerusan kualitas fisik-mental generasi muda negeri ini lewat infiltrasi tayangan yang jauh dari nilai-nilai edukasi yang sampai ke genggaman tangan mereka dengan mudah berkat 'kasih sayang' (mungkin lebih tepat sikap 'ogah repot') para orangtua yang ingin buah hati mereka anteng  duduk manis sementara mereka memboroskan era golden time  anak yang berharga dengan kerja atau main mati-matian di luar rumah. Persuasi hedonisme pun terus berputar memenuhi panca indra anak hari demi hari.

Orangtua bekerja untuk memenuhi multi kebutuhan anak, maunya mungkin begitu, sayang banyak yang lupa bahwa kebutuhan anak itu tak sebatas sandang-pangan-papan dan pendidikan hanya untuk punya ijazah.

Banyak kasus 'kekurangajaran' anak terhadap orangtua terpapar di media. Kita banyak menemukan anak-anak yang sudah bangkotan namun masih menggantungkan pemenuhan kebutuhan hidup pada orangtuayang sudah renta. Parasitisme yang  bila tak segera ditangani bisa berujung pada kriminalitas. Kasus ayah atau ibu dianiaya bahkan dibunuh anak kandungnya sendiri gara-gara tak dibelikan motor atau ponsel sudah banyak kita baca.

Jangan heran kalau 'kekurangajaran' itu pun akhirnya dibawa keluar rumah, seperti di sekolah dengan menantang guru berkelahi padahal jelas-jelas dia bersalah melanggar tata tertib. Tanpa respek pada orangtua sendiri, pasti sulit menghargai orang-orang lebih tua lain yang ditemui dalam lingkup sosialnya.

Tentu saja urusan memahat karakter yang baik pada anak tak bisa diserahkan pada guru agama yang cuma punya jatah 2-3 jam seminggu di sekolah atau pada guru mengaji petang di masjid-masjid dengan durasi mirip. Keteladanan orangtua tetaplah agenda mendidik anak andalan sampai akhir jaman. 

Polusi kehidupan mungkin akan membuat anak 'buta' sesaat hingga tersesat menjadi bagian dari jelajah hidupnya, namun konsistensi keteladanan orangtua yang terukir dalam dirinya sejak kecil akan menjadi pelampung yang akan mencegahnya tenggelam. 

Seberapa melarat atau kaya rayanya kita, kebutuhan edukasi keteladanan yang konsisten bagi generasi penerus adalah sesuatu yang tidak bisa dikompromikan. Lantas apa saja hal yang mesti diajarkan dan diteladankan itu?

Metode bisa bervariasi sesuai karakter anak dengan pendidik utama adalah ibu dan ayah, namun konten utamanya persis dengan yang ditekankan oleh seorang ayah bernama Luqman al-Hakim dan dijamin valid selama eksistensi Al-Qur'an masih mewarnai peradaban manusia. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline