Lihat ke Halaman Asli

Wahyuni Susilowati

TERVERIFIKASI

Penulis, Jurnalis Independen

Aung San Suu Kyi, Dapatkah Dihukum Atas Genosida Rohingya?

Diperbarui: 27 Agustus 2019   15:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aung San Suu Kyi konon berada di balik genosida Muslim Rohingya (doc.South China Morning Post/ed.Wahyuni)

Hari Minggu (25/8) menandai dua tahun kedatangan pasukan militer Birma, Tatmadaw, di negara bagian Rakhine di sebelah barat Myanmar untuk melancarkan teror dan kekerasan terhadap suku minoritas Muslim Rohingya (The Intercept,24 Agustus 2019).

Berbagai tindak kejahatan keji telah dilakukan pasukan Birma dan gerombolan pendukungnya yang main hakim sendiri saat itu. Mereka membacok ratusan bahkan ribuan lelaki Rohingya sampai mati, anak-anak dibakar hidup-hidup, perempuan termasuk yang masih kanak-kanak diperkosa dan dilecehkan. Desa-desa dihancurkan dan diratakan dengan tanah hingga ada lebih dari 700,000 warga Rohingya yang masih hidup harus terusir meninggalkan tanah kelahiran mereka. Jumlah warga yang tewas dalam insiden tersebut diperkirakan mencapai lebih dari 10,000 orang.

Dua tahun kemudian, ketika para pengungsi Rohingya terpaksa mendekam di kamp-kamp kumuh di seberang perbatasan di Bangladesh, sulit membayangkan kebiadaban lebih brutal dari yang  mereka tanggung selama ini.

Departemen Dalam Negeri AS menyebut kekejian itu dengan istilah 'pembersihan etnis' dan Sam Brownback, duta kebebasan beragama international AS, menggambarkan kekejaman terhadap Rohingya ' seburuk bahkan lebih parah dari insiden sejenis di Darfur'.

Darfur adalah wilayah di Sudan yang pernah mengalami tindak genosida (Februari 2003) dengan pelaku pasukan rezim pemerintahan Omar al-Bashir dan korbannya adalah ratusan ribu warga sipil non-Arab di wilayah tersebut. Omar kemudian diseret ke International Criminal Court (ICC, Mahkamah Pidana Internasional) dengan tuduhan genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Sementara itu pada Agustus 2018, komisi pencari fakta PBB mendakwa militer Birma telah melakukan genosida. Tindakan badan dunia tersebut didukung oleh banyak kalangan internasional, seperti para pakar dari US Holocaust Memorial Museum di Washington DC dan parlemen Kanada yang melakukan pemungutan suara anonim.

Para penyelidik PBB bahkan menuntut jajaran komandan tertinggi militer Myanmar untuk disidik dan dituntut atas kejahatan paling buruk yang pernah dilakukan pada warga sipil berdasarkan hukum internasional.

Lalu bagaimana dengan peran Aung San Suu Kyi dalam kekejian tersebut? Selama dua tahun terakhir ini, mantan tahanan politik yang kini telah menjadi pemimpin  de facto Myanmar secara membabibuta membela ulah biadab kaum militer negaranya sambil secara sinis mengatakan kebrutalan itu sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja.

Sebagian pengamat menilai Suu Kyi mengidap islamofobia dan itu tercermin dalam beberapa kunjungan diplomatiknya menemui berbagai kepala negara yang dikenal rasis, seperti perdana menteri Hungaria Viktor Orman. Keduanya dikabarkan berkeluh kesah tentang 'pertumbuhan populasi Muslim yang terus berlangsung' di negeri mereka.

Suu Kyi bukannya tidak sadar akan bayang-bayang sanksi internasional yang kian dekat menghampirinya. Maka dia pun rajin menggalang dukungan untuk melindungi diri.

Dia mendapatkan sokongan tak terduga dari sesama peraih penghargaan Nobel Perdamaian 1991, Jose Ramos Horta, dan Pemimpin Mayoritas Senat AS, Mitch McConnel. Mereka bekerjasama untuk menyiapkan setumpuk argumen palsu tentang menagapa Suu Kyi tidak bisa dan tidak seharusnya dituntut, bahkan tidak bertanggungjawab, untuk kekerasan dan represi yang terus berlangsung di Myanmar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline