Gagal mencapai jumlah pelanggan sesuai target yang ditetapkan pada kuartal kedua tahun ini membuat nilai saham Netflix (NFLX) merosot sampai 15 persen bulan lalu dengan short interest mencapai 20 persen bulan lalu (Forbes, 20 Agustus 2019).
Namun bukan jumlah pelanggan semata, menurut David Trainer CEO dari firma penelitian independen New Constructs di Nashville, ada beberapa faktor lain yang berpotensi mendorong perusahaan penyedia layanan televisi streaming itu ke jurang kebangkrutan.
Pembelian konten siaran tak berimbang dengan penambahan jumlah pelanggan
Problem terbesar Netflix adalah membayar lebih dan lebih lagi untuk mendapatkan pelanggan baru. Pengeluaran untuk pemasaran dan konten streaming meningkat dari USD 308/pelanggan baru tahun 2012 menjadi USD 581/pelanggan baru pada periode setahun finansial yang tengah berjalan.
Sementara pertumbuhan pendapatan dan jumlah pelanggan berjalan lamban. Pengeluaran perusahaan setiap tahunnya lebih tinggi 50 persen dari pendapatan.
Peningkatan biaya untuk menambah pelanggan membuat Netflix kesulitan mencari cara agar perusahaan bisa mengubah kecenderungan negatif pada aliran dana tunainya.
Masih bergantung pada konten berlisensi meskipun merugi
Pengeluaran besar yang dihabiskan Netflix untuk membuat konten orisinalnya, ternyata tak membuat belanja tayangan dan film berlisensi dari pihak ketiga lantas berkurang.
Perusahaan analisa 7Park Data menyodorkan perkiraan bahwa pada musim gugur lalu, konten berlisensi menguasai 63 persen jam tayang di platform tersebut.
Data yang sama menunjukkan bahwa tayangan berlisensi 'The Office' dan 'Friends' adalah dua di antara tiga pertunjukan Netflix yang paling diminati, namun keduanya akan habis hak tayang pada 2020 dan 2021. Sejauh ini Netflix belum terlihat punya rencana untuk mengantisipasi turunnya rating akibat perginya dua tayangan favorit tersebut.
Mengikat kontrak dengan Benioff & Weiss, cermin keputusasaan